If you are from foreign country, it is not recommended to rent a car and drive on your own in Jakarta
Kalimat itu tertulis di sebuah situs informasi perjalanan wisata internasional. Wisatawan asing yang hendak menghabiskan waktunya di Jakarta tidak direkomendasikan untuk menyewa kendaraan dan membawa sendiri kendaraannya di jalan. Situs tersebut juga menggambarkan kondisi lalu lintas Jakarta yang selalu berada dalam situasi kacau dan tidak memiliki aturan.
Kemacetan di Jakarta sudah terkenal ke seantero jagad. Sebuah anekdot yang beredar di kalangan ekspatriat menyebutkan, jika Anda bisa mengendarai mobil di Jakarta dengan selamat, maka Anda akan selamat mengendarai mobil di mana pun. Kemacetan pun kini menjadi ciri khas Jakarta di mata dunia internasional.
Bagi warga yang sehari-hari beraktivitas di Jakarta, kemacetan merupakan sarapan pagi yang tidak bisa dilewatkan. "Tidak ada jalan alternatif, mau tidak mau harus terkena macet," ujar Hasan Fajar (25 tahun) berbagi cerita. Staf Teknologi Informasi (TI) di sebuah perusahaan media itu harus berkutat dengan kemacetan setiap pagi, sejak dari rumahnya di Jatiwaringin hingga kantornya di Mampang Prapatan.
Rutinitas itu sudah dijalani Hasan selama tiga tahun sejak dia bekerja di Jakarta. Macet telah menjadi hal yang lumrah bagi dia. Waktu selama satu jam setiap pagi dia habiskan di atas sepeda motornya ketika terjebak kemacetan. Terik matahari pun sudah akrab menyirami muka Hasan. "Bisa-bisa saya menjadi tua di jalan," katanya sambil terkekeh.
Jutaan warga Jakarta lain mengalami nasib serupa dengan Hasan. Mereka menjadi korban sebuah teror yang bernama kemacetan. Bayangkan, kemacetan membuat jutaan orang menghabiskan banyak waktu di jalan. Jika hal itu berlangsung selama bertahun-tahun, maka dapat dihitung berapa persen dari umur mereka yang terbuang percuma di tengah kemacetan.
Produktivitas dan semangat seseorang sudah telanjur menguap di jalan sebelum dia tiba di tempat kerja. Kondisi fisik pun terkuras habis oleh kemacetan. Bahkan, jalanan menjadi penyebab kematian utama di Jakarta. Sebuah survey menyebutkan, satu dari lima penduduk kota besar cenderung mengidap gangguan jiwa. Kemacetan pun disebut-sebut menjadi faktor penyebab gangguan jiwa itu.
Dampak negatif kemacetan bagi lingkungan juga tidak kalah dahsyat. Setiap hari, ribuan liter bensin dan solar terbakar percuma di tengah kemacetan. Lembaran rupiah yang digunakan untuk membeli bahan bakar itu pun ikut melayang. Bensin dan solar malah berubah menjadi gas beracun yang mengotori udara.
Tanpa disadari, pengendara sepeda motor yang sedang berada di tengah kemacetan menghisap gas buang kendaraan yang mengandung timbal setiap hari. Mobil-mobil yang terjebak kemacetan tidak hanya mengotori udara dengan gas buang kendaraannya, namun merusak pula lapisan ozon melalui gas karbonmonoksida yang dikeluarkan pendingin udara (AC).
"Kerugian materil akibat kemacetan mencapai Rp 3-4 triliun setiap tahun," kata Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan, Kamis (6/11). Mengutip data sejumlah hasil penelitian, Azas menyebutkan bahwa kerugian non-materil justru lebih tinggi. Kerugian Rp 3-4 triliun itu, ujar Azas, berasal dari Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terbuang sia-sia di tengah kemacetan.
"Ada dampak ikutan yang lebih banyak dari sekadar pemborosan BBM," ujar Azas penuh semangat. Kemacetan dapat mengganggu kelangsungan dunia usaha. Contohnya, pengiriman barang menjadi terlambat, pertemuan bisnis menjadi batal, biaya angkutan membengkak, hingga keterlambatan proses produksi. Jika diakumulasikan, kerugian akibat kemacetan bisa mencapai puluhan triliun.
Pemprov DKI Jakarta tidak tinggal diam melawan teror kemacetan yang setiap hari dialami warganya. Gubernur dan jajarannya sudah memeras otak untuk menaklukkan kemacetan. Dari membangun underpass hingga flyover, dari mengoperasikan busway hingga waterway, dari pemberlakukan Electronic Road Pricing (ERP) hingga kenaikan tarif parkir.
Sayangnya, kebijakan-kebijakan itu tidak cukup ampuh untuk meredam serangan ganas kemacetan. "Mengatasi macet harus bertahap, jangan harap besok macet langsung hilang," kata Gubenur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, pertengahan Oktober silam. Dalam mengatasi kemacetan, Pemprov membutuhkan proses yang tidak sebentar.
Dalam proses tersebut terdapat kajian dalam mencari bentuk kebijakan yang paling tepat. Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta, Muhayat, mengatakan, pihaknya sedang mencari bentuk kebijakan yang paling cocok. "Kita tidak akan meneruskan kebijakan yang dinilai tidak cocok dalam mengatasi kemacetan," kata Muhayat, Selasa (21/10).
.
Dia mencontohkan, pembangunan waterway tidak dilanjutkan karena ternyata tidak membawa dampak signifikan bagi penanganan kemacetan. "Kami memprioritaskan optimalisasi pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT) dan Mass Rapid Transit (MRT)," kata mantan wali kota Jakarta Pusat ini. Dua pola transportasi publik itu diharap bisa mengurai benang kusut kemacetan yang melilit Jakarta.
Namun, keampuhan BRT dan MRT itu belum teruji. Dua pola transportasi publik tersebut masih sibuk dengan masalah-masalah teknis dan manajemen. Padahal, dana yang digelontorkan oleh Pemprov mencapai triliunan rupiah. BRT menelan biaya sebesar 2-5 juta dollar AS per kilometer, sedangkan dana MRT berasal dari pinjaman Japan Bank for International Corporation (JBIC) sebesar Rp 8,359 triliun.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Edie Toet Hendratno, menilai, pembangunan pola transportasi publik yang representatif merupakan cara ampuh dalam menangani kemacetan. "Sediakan saja transportasi publik yang baik, masyarakat dengan sendirinya akan meninggalkan kendaraan pribadi," kata Edie dalam Temu Unsur Pengguna Angkutan Umum di Jakarta Media Center, Kamis (30/10) lalu.
Membengkaknya jumlah kendaraan pribadi memang menjadi biang kerok kemacetan di Ibu Kota. Berdasarkan data Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta pada 2007 mencapai 5,7 juta unit. Padahal, dua tahun sebelumnya hanya 4,9 juta unit. Artinya, kenaikan jumlah kendaraan mencapai delapan persen per tahun.
Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya lebih fantastis lagi. Jumlah kendaraan di Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang mencapai 9,4 juta unit pada 2008 ini. Jumlah tersebut meningkat hampir dua juta unit dibanding jumlah kendaraan pada 2006 yang mencapai 7,9 juta unit. Persentasi kenaikannya lebih dari sepuluh persen per tahun.
Jumlah kendaraan pribadi mencapai 98 persen dari total kendaraan di Jakarta. Jalanan pun menjadi daerah okupasi kendaraan pribadi. Panjang jalan di Jakarta mencapai 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi atau 6,2 persen dari luas wilayah Jakarta. Pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan luas jalan yang hanya 0,01 persen per tahun.
Permasalahan kemacetan sudah lama menjadi pusat perhatian para politisi Kebon Sirih. Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, Aliman A'at, mengatakan, BLU Transjakarta masih belum optimal menjalankan manajemen transportasi busway. "Untuk mengurangi kemacetan, saya lebih cenderung untuk mengurangi jumlah kendaraan," katanya. Kendaraan tua dan tidak layak digunakan harus dilarang berada di jalan.
"Kondisi kendaraan tersebut bisa diketahui dengan proses kir yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan," kata Aliman. Artinya, kendaraan yang dilarang berada di jalan hanya kendaraan yang kondisi mesin sudah tidak bagus. Dengan langkah tersebut diharapkan pemilik kendaraan bisa beralih menggunakan kendaraan umum.
Edie menambahkan, beroperasinya bus Transjakarta merupakan kemajuan signifikan bagi penanganan kemacetan di Jakarta. Namun, hal itu tidak membuat masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi. "Artinya, pelayanan dan fasilitas bus Transjakarta itu masih kurang optimal," ujar Edie yang juga menjabat rektor Universitas Pancasila ini.
Sementara, Azas mempertanyakan kebijakan-kebijakan Pemprov untuk menangani kemacetan yang kini tidak terdengar lagi kabarnya. "Dulu ada penggembokan mobil yang parkir sembarangan, sekarang ke mana," katanya penuh tanya. Dia juga berharap Pemprov menertibkan angkutan umum, seperti mikrolet dan Metro Mini yang tidak berdisiplin dan memicu kemacetan. n ikh
15 November, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment