Bermula dari sebuah kawasan sejuk yang dikelilingi pegunungan di wilayah Kerajaan Inggris. Di tempat itu terdapat area bernama Camden, sebuah kota otonom yang masuk wilayah London. Pada pertengahan Mei 2004, pemerintah kota Camden melakukan perjanjian kerja sama dengan dua perusahaan pengolahan energi.
Kerja sama tersebut bertujuan untuk mewujudkan mimpi yang ketika itu tampaknya sulit menjadi kenyataan. Listrik yang telah dikenal manusia sejak 120 tahun lalu mulai memasuki babak baru di Camden. Kota yang dipimpin seorang konselor bernama Nurul Islam ini tidak lagi menggunakan listrik yang berasal dari turbin, dinamo, atau baling-baling yang digerakkan oleh angin.
Sebanyak 2.500 keluarga di Camden mulai menikmati listrik yang bersumber dari sampah. Bagi penduduk di belahan dunia lain, sampah mungkin menjadi benda yang paling menjijikan. Hal itu tidak berlaku bagi penduduk Camden. Listrik yang digunakan di tempat-tempat publik di kota itu juga bersumber dari energi yang terbarukan.
Empat tahun kemudian, beberapa kota di Inggris mengikuti fenomena yang terjadi di Camden. Warga kota Devon mulai mengumpulkan sampah rumah tangga untuk diubah menjadi listrik. Sebanyak 12.000 keluarga yang ada di kota itu diperkirakan menghasilkan satu juta kilo sampah per tahun. Pemerintah setempat berhasil mengubah sampah menjadi energi listrik.
Dari dua kota kecil di Inggris itulah muncul istilah listrik hijau (green electricity). Tanpa menunggu waktu lama, istilah itu hinggap di telinga para pejabat Pemprov DKI Jakarta. Listrik hijau menjadi harapan baru bagi penyelesaian masalah sampah yang melanda Ibu Kota. Selama ini, sampah dianggap sebagai biang keladi masalah perkotaan yang melanda kota-kota besar di Indonesia.
"Paradigma tentang sampah harus diubah," kata Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, di Balai Kota, Jumat (31/10) lalu. Dia menginginkan, sampah yang selama ini dianggap sebagai limbah kotor harus mulai dipandang sebagai sumber energi yang bermanfaat. Selain dapat menghasilkan energi, pengolahan sampah juga bermanfaat bagi lingkungan.
Niat sang gubernur nampaknya tidak main-main. Pada awal 2008, dia menugaskan jajarannya untuk mengundang perusahaan-perusahaan yang mampu mengolah sampah menjadi energi. Perusahaan tersebut harus merupakan perusahaan dalam negeri yang berkonsorsium dengan perusahaan asing, sehingga teknologi pengolahan sampah di luar negeri bisa diadopsi di Ibu Kota.
Langkah yang diambil Pemprov DKI Jakarta itu sebenarnya masih kalah cepat oleh Pemkot Denpasar, Bali. Sejak akhir 2005 lalu, Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST) di kawasan Suwung, Denpasar dibangun menjadi lokasi pengolahan sampah. Proyek bernilai 20 juta dolar AS itu diharapkan mampu memasok 9,6 Megawatt (MW) dari 800 ton sampah per hari pada tahun 2009-2010.
Jakarta tidak ingin kalah oleh Camden dan Devon. Lelang pengelolaan sampah pun dibuka. Pemenang lelang akan mengelola sampah Jakarta yang berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi. Selama ini, TPA Bantargebang selalu menjadi biang masalah antara Pemprov DKI Jakarta, Pemkot Bekasi, warga di sekitar TPA, dan kalangan LSM.
Setelah membuka lelang, Pemprov DKI Jakarta mengundang lima perusahaan pengolahan sampah untuk melakukan paparan. "Nilai kontraknya Rp 800 miliar dengan lama 15 tahun," kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna Subroto, di Balai Kota, Jumat (31/10). Dari lima perusahaan yang melakukan paparan, lanjutnya, kami memilih tiga perusahaan.
Ketiga perusahaan yang dipilih itu adalah PT Godang Tua Jaya, PT Total Strategic Investment, dan PT Patriot Bangkit Bekasi. PT Godang Tua Jaya bekerja sama dengan tiga perusahaan asing, yaitu Navigate Organic Energy, Syndicatun Carbon Capital, dan Organic International Ltd. PT Total Strategic Investment bekerja sama dengan Ramky International dari India. Sedangkan, PT Patriot Bangkit Bekasi menggandeng Sembawang Corp dari Singapura.
Tim lelang memaparkan profil ketiga perusahaan itu dihadapan gubernur yang akan langsung menentukan pemenang lelang. PT Godang Tua Jaya sudah disebut-sebut sebagai pemenang lelang karena memiliki kualifikasi terbaik. Dia menggandeng perusahaan yang juga melakukan proyek pengolahan sampah di Denpasar, yaitu Navigate Organic Energy asal Inggris.
Eko melanjutkan, pengolahan sampah menjadi energi sudah menjadi sebuah kebutuhan. TPA Bantargebang sudah tidak bisa lagi menampung sampah asal Jakarta. "Dalam satu hari, Jakarta menghasilkan 6.000 ton sampah," ujar Eko. Namun, lanjutnya, sampah yang tertampung TPA Bantargebang hanya 5.00 ton saja, sisanya masih berceceran di jalan.
Eko optimis pengerjaan proyek pengelahan sampah di TPA Bantargebang bisa segera dimulai bulan depan. "Desember 2008 atau paling lambat Januari 2009 bisa dilakukan pembuatan tiang pancang pembangunan instalasi pengolahan limbah di Bantargebang," katanya sambil tersenyum. Jika sudah beroperasi, instalasi itu bisa mengolah 4.000 ton sampah per hari menjadi listrik sebesar 35 MW.
"Pemprov DKI Jakarta akan membayar Rp 103 ribu untuk setiap ton sampah yang masuk ke TPA Bantargebang," kata Eko. Biaya itu dinamakan tipping fee, yaitu biaya pengolahan sampah menjadi energi yang dibayarkan pada perusahaan pemenang lelang nanti. Sebelum sampah diolah oleh perusahaan, Pemprov DKI Jakarta membayar tipping fee kepada Pemkot Bekasi sebesar Rp 53 ribu per ton.
Fenomena yang terjadi di Camden dan Devon pun sudah berada di depan mata. Namun, Eko belum belum bisa memastikan listrik yang nantinya dihasilkan dari TPA Bantargebang itu bisa langsung dinikmati masyarakat umum. "Kita akan salurkan kepada industri yang ada di Bekasi terlebih dahulu," ujar Eko yakin. Sebab, industri di Bekasi membutuhkan daya listrik yang besar.
Direktur Utama PT Godang Tua Jaya, Rekson Sitorus, bersedia membuka sedikit rahasia tentang pengolahan sampah yang akan dilakukan perusahannya jika sudah ditunjuk sebagai pemenang lelang nanti. "Kami melakukan pengolahan dengan empat cara," kata Rekson. Keempat cara itu adalah pyrolisis, pemilihan sampah, pembuatan kompos, dan pembuatan biogas sebagai penghasil listrik.
Rekson membenarkan bahwa pihaknya menggandeng perusahaan asal Inggris bernama Navigate Organic Energy. Inggris memang sudah menjadi pionir dalam produksi listrik hijau. "Teknologi yang ada di sana kita harapkan bisa diadopsi di sini," kata Rekson penuh harap. Dia berharap bisa segera menandatangani kontrak agar proyek segera terlaksana.
Terkait dengan pendistribusian listrik dari pengolahan sampah, Rekson menjelaskan, hal itu merupakan kewenangan PLN. "Kita hanya memproduksi listrik saja, sedangkan pendistribusiannya menjadi wewenang PLN," katanya. Dia mengaku belum tahu konsumen yang kelak akan menikmati listrik dari sampah itu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, garis besar pengolahan sampah menjadi listrik dimulai dengan pemasangan pipa ke dalam tumpukan sampah untuk menangkap gas metana, yaitu gas yang dihasilkan dari proses kimia dekomposisi sampah. Metana kemudian diolah menjadi biogas dengan fungsi mirip gas elpiji yang digunakan masyarakat.
Sampah yang diolah tersebut harus mengalami pemilahan terlebih dahulu dengan memisahkan sampah organik dan anorganik. Kemudian, sampah menjalani proses pyrolisis dengan pemanasan tingkat tinggi. Proses tersebut akan menghasilkan gas sintetik. Gas inilah yang kemudian dikonversi menjadi energi listrik.
Pelaksanaan pengolahan sampah menjadi listrik di Jakarta menarik perhatian sejumlah LSM. Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Selamet Daroyni, memberikan apresiasi yang tinggi terhadap terobosan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. "Meski demikian, harus ada keterbukaan atas pelaksanaan proyek tersebut agar masyarakat mendapat informasi yang benar," katanya tegas.
Selama ini, lanjut Selamet, Pemprov DKI Jakarta tidak pernah terbuka terhadap teknologi yang akan dilakukan dalam pengolahan sampah menjadi listrik itu. "Jangan sampai nanti proyek ini batal karena ada ketidaksesuaian dalam hal-hal teknis," kata pria kurus ini. Hal itu pernah terjadi pada 1990-an ketika Pemprov DKI Jakarta menggembar-gemborkan akan membangun sanitary landfill di Bantargebang yang akhirnya batal.
"Pengolahan sampah menjadi energi memang sudah waktunya diterapkan di Jakarta," ujar Selamet. Selain perlu adanya keterbukaan dalam proyek itu, dia berharap Pemprov DKI Jakarta bisa konsisten dalam melakukan pengolahan sampah ini. Artinya, pengolahan sampah jangan sampai berhenti di tengah jalan, namun harus berkesinambungan.
Jika di Camden bisa, mengapa di Jakarta tidak? n ikh
18 December, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
SELAMA TSEMOGA DAPAT DICONTOH DAERAH LAIN
Post a Comment