21 October, 2009
Gempa dan Bung Hatta
Ruangan berukuran 16 meter persegi itu nyaris roboh. Lapisan temboknya sudah terkelupas, hanya terlihat susunan batu bata merah berusia tua. Keempat dinding tembok yang mengelilingi ruangan itu tidak lagi tegak, seakan tidak lagi mampu menopang atap.
Di bagian atas hanya terlihat genteng yang disangga kayu-kayu yang nyaris patah. Hembusan angin pun bisa membuat genteng-genteng itu ambruk. Meski tembok hampir roboh, namun papan tulis masih terpasang. Di lantai masih tersusun meja dan kursi dari kayu, tapi sudah tertutup debu tebal.
Ya, ruangan itu adalah ruang kelas. Tepatnya ruang kelas 9A SMP Negeri 1 Padang Jl Jend Soedirman, Kota Padang. Ruangan berarsitektur Belanda ini bukan sembarang ruang kelas. Hampir satu abad lalu, Bapak Proklamator, Mohammad Hatta, duduk di salah satu kursi kelas tersebut sebagai salah satu siswanya. Dimulai dari ruangan kecil itulah, Hatta terus bersekolah hingga ke Negeri Belanda.
Ruangan kelas Bung Hatta hancur digoyang gempa 7,6 Skala Richter pada Rabu (30/9) petang. Tak hanya ruangan kelas sang Bapak Koperasi itu saja, namun hampir seluruh kelas di SMP Negeri 1 Padang ini rusak dan tidak bisa digunakan lagi sebagai tempat belajar. Namun, pemerintah setempat tetap mewajibkan kegiatan belajar mengajar harus dimulai pada Senin (5/10).
Pagi itu, tepat pukul 07.30 WIB, sesuai jadwal yang ditetapkan pemerintah, siswa SMP Negeri 1 Padang berkumpul di sekolahnya. Seolah tidak ingin memalukan nama besar Bung Hatta, hampir semua siswa menunjukkan semangat belajar meski hati masih sedih dan trauma akibat gempa. Mengenakan seragam putih biru, satu per satu siswa menyalami guru-guru dan kepala sekolah.
Inilah kali pertama mereka bersua setelah gempa melanda Sumatera Barat. Beberapa siswa dan guru tampak meneteskan air mata. "Hari ini rencananya kami akan berkumpul dengan para siswa untuk menjelaskan kondisi sekolah, sekaligus memberikan bimbingan konseling dan agama bagi para siswa agar tidak trauma," kata Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Padang, Ahmad Nurben, kepada Republika, Senin (5/10) pagi.
Menurut Nurben, sebelas dari 21 ruang kelas di sekolahnya tidak bisa digunakan. Menurut dia, bangunan SMP Negeri 1 Padang merupakan bangunan cagar budaya yang tergolong dilarang untuk dipugar. Namun, bagian bangunan lain merupakan gedung baru. Ruang kelas yang rusak berada di gedung tua yang sudah berusia ratusan tahun.
"Sudah ada petugas dari Dinas Pekerjaan Umum yang meninjau, tapi tidak menjelaskan apakah kelas-kelas ini bisa dipakai," ujar Nurben sambil menunjuk ruang kelas yang rusak. Berdasarkan kondisi fisik, hanya sebelas ruang yang bisa digunakan. Pihak sekolah, kata dia, harus meyakinkan para siswa untuk berani masuk ke dalam kelas agar kegiatan belajar mengajar bisa berjalan.
Dalam kondisi normal, jam belajar di SMP Negeri 1 Padang ini dimulai pada pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. "Dengan kondisi ruang kelas yang terbatas, kami rencananya membagi jam belajar menjadi dua bagian, yakni O7.00-12.30 WIB dan 13.30-18.00 WIB. Di sekolah rintisan bertaraf internasional ini terdapat 118 siswa, hampir 80 persen hadir di hari pertama sekolah pascagempa.
"Kami ingin ada ahli konstruksi datang ke mari untuk memastikan bahwa bangunan ini aman, karena itulah yang bisa meyakinkan siswa," kata Nurben. Dia juga mengetuk hati para alumni SMP Negeri 1 Padang untuk memberikan kontribusi. Maklum, sekolah ini merupakan penghasil cendikiawan dari Padang, Irwan Prayitno dan Azwar Anas. Menurut Nurben, bangunan sekolah harus dipertahankan karena merupakan bagian dari sejarah bangsa.
Salah seorang anak Bung Hatta yang kini menjadi menteri, Meutia Hatta, sempat dikabarkan akan mengunjungi sekolah ini sebelum gempa melanda. Namun, rencana itu tak terdengar lagi. Satu siswa SMP Negeri 1 Padang dinyatakan tewas akibat gempa ketika berada di gedung Lembaga Bimbingan Belajar Gama, sedangkan satu guru juga meninggal ketika memberikan les di Lembaga Bahasa Asing LIA.
Safwan, orang tua siswa SMP Negeri 1 Padang kelas 7A bernama, Permatayesa Ulgania, mengatakan, dia sengaja mengantar anaknya ke sekolah karena tidak yakin akan berlangsung kegiatan belajar mengajar. "Saya khawatir jika tetap belajar, bangunan hampir roboh," kata Safwan. Dia pun memutuskan untuk menunggu anak keduanya itu hingga pulang. Di Kota Padang terdapat 75 SMP, 37 di antaranya berstatus negeri. Hampir seluruh bangunan sekolah terkena dampak gempa.
Begitu pula kondisi bangunan SMA di Kota Padang. Bahkan, SMA PGRI 1 Padang memutuskan untuk meniadakan kegiatan belajar mengajar dengan alasan keselamatan. Lagipula, hanya 30 orang siswa yang bersekolah pada Senin (5/10). Sedangkan, 570 siswa sisanya tidak hadir. "Hari ini kami hanya apel saja, menjelaskan kondisi sekolah kepada siswa," kata guru SMA PGRI 1 Padang, Rusli Thalib.
Tidak jauh dari SMA PGRI 1 Padang, terdapat bangunan SMA Negeri 1 Padang juga sebagian besar kelasnya hancur. Namun, pihak sekolah bertekad untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. SMA Negeri 1 Padang merupakan salah satu sekolah yang terkena dampak gempa terparah. Dari 24 ruang kelas, hanya empat ruang kelas yang bisa dipakai.
"Sesuai instruksi pemerintah, hari ini (Senin, 5/10) siswa harus mulai belajar," kata Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Padang, Jufril Siri, usai memberi pengarahan kepada seluruh siswanya. Sekolah ini memiliki 775 siswa yang harus tetap belajar. Menurut Jufril, pihaknya membutuhkan enam tenda untuk menggantikan kelas yang rusak.
Namun, tenda yang tersedia di SMA Negeri 1 Padang hanya satu, yakni bantuan dari Unicef. "Belajar itu penting karena merupakan salah satu terapi untuk menghilangkan trauma siswa," kata Jufril. SMA Negeri 1 Padang juga merupakan almamater sejumlah pejabat, di antaranya Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan Dirut PT Semen Padang Endang Irzang.
Salah seorang siswa SMA Negeri 1 Padang, Yogie Prakoso, mengaku tetap ingin belajar dalam kondisi apapun. "Ingin tetap belajar. Biar di dalam tenda tapi tetap belajar," kata Yogie. Dia mengaku sedih dengan gempa yang melanda tempat tinggalnya, namun hal itu tidak membuat Yogie surut semangatnya untuk belajar. Di SMA Negeri 1 Padang, satu siswa meninggal tertimpa reruntuhan di rumahnya dan satu staf tata usaha bernasib serupa.
Di Kota Pariaman, siswa sekolah juga belum bisa melakukan kegiatan belajar. Siswa SMP Negeri 1 Pariaman sudah datang ke sekolahnya sejak pagi, namun niat belajar terpaksa pupus karena kondisi sekolah benar-benar hancur. Mereka terpaksa kembali ke rumah masing-masing, padahal mereka telah berseragam lengkap dan membawa alat tulis. Pihak sekolah belum menerima tenda sebagai lokasi tempat belajar sementara.
Sekolah-sekolah di Ranah Minang ini boleh saja hancur, namun terbukti bahwa orang Minang memiliki semangat belajar yang tinggi. Wajar jika banyak pemimpin, cendikiawan, hingga penyair yang lahir di tanah ini, sebut saja Buya Hamka dan M Hatta. Guru dan siswa sekolah berharap bantuan segera datang, sekolah diperbaiki, dan kegiatan belajar pun bisa dimulai. Semoga. n ikh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment