Sumitro Djojohadikusumo (kiri) bersama Widjojo Nitisastro dan Radius Prawiro sesaat sesudah dilantik menjadi menteri Kabinet Pembangunan II di Istana Negara, Jakarta. TEMPO/Syahrir Wahab |
Hampir tak ada kemajuan ekonomi selepas Sukarno dan Mohammad Hatta membaca teks proklamasi. Penjajahan Jepang selama tiga tahun menyisakan luka tak terperi. Dai Nippon menutup pintu investasi ke Indonesia. Ekonomi dalam negeri lumpuh.
Penghancuran ekonomi Indonesia oleh Jepang membuat penanaman modal asing (PMA) hilang. PMA yang masih tersisa hanyalah sisa-sisa warisan kolonial Belanda. Itu pun terbatas di bidang perkebunan, pertanian, dan pertambangan.
Sumitro tak sabar ingin membalikkan keadaan. Kesempatan itu datang pada 1950. Ketika itu, kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) baru saja bubar. Terbentuklah Kabinet Natsir. Sumitro merupakan salah satu dari 18 anggota kabinet pimpinan Perdana Menteri Mohammad Natsir itu.
Dia mendapat amanah sebagai menteri perindustrian dan perdagangan. Sumitro intens membahas rencana perbaikan kondisi perekonomian dalam rapat-rapat kabinet. Kegundahaannya sejak awal masa kemerdekaan dibahas bersama para menteri lain.
Sumitro memberi usulan kongkrit. Dia menawarkan paket kebijakan bernama Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Inilah salah satu kebijakan awal Pemerintah Indonesia dalam mendorong pembangunan industri. Melalui RUP, industri dijadikan sebagai motor penggerak perekonomian.
RUP juga menjadi salah pedoman pertama dalam PMA. Meski begitu, RUP juga mendorong berkembangnya industri kecil dan menengah. Sasaran dari industrialisasi ketika itu adalah mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri.
Kabinet Natsir hanya berusia tujuh bulan, namun gagasan Sumitro soal industrialisasi berlanjut pada kabinet berikutnya. Kabinet Wilopo mulai memberi gambaran jelas soal industrialisasi dan investasi di Indonesia.
Kabinet Wilopo membuka sebesar-besarnya usaha swasta untuk mengolah sumber daya alam menjadi barang industri. Ketika itu, Bank Industri Negara membantu menyediakan modal yang diperlukan swasta.
Hal tersebut menjadi arah pembangunan industri tahun-tahun berikutnya. Pemerintah terus memberi kemudahan kepada industri swasta. Kebijakan ini juga menjadi karpet merah untuk asing membuka usaha di Indonesia.
Berbagai kemudahan bagi industri terus berlanjut beberapa dekade berikutnya. Kemudahan itu dikemas dalam skema berbeda-beda. Pemerintah kembali meningkatkan kemudahan bagi industri setelah Indonesia lepas dari krisis ekonomi 1998.
Di masa kini, kemudahan bagi industri tak bertujuan menarik investasi, tapi sudah jadi fenomena global. Semua negara berlomba untuk menarik modal. Dengan modal inilah ekonomi bisa bergerak dan lapangan pekerjaan terbuka.
Pemerintah memberi kemudahan pajak (//tax allowance// dan //tax holiday//). Bagi industri tertentu yang memenuhi syarat. Tak hanya itu, perusahaan tertentu juga mendapat subsidi, khususnya subsidi energi.
Energi jadi kebutuhan utama sebuah negara, bukan korporasi. Hingga kini masih banyak perusahaan yang menikmati subsidi listrik dalam menjalankan usahanya. Padahal, di saat yang sama, rakyat juga membutuhkan subsidi listrik.
Rakyat sudah 'terpaksa' berkorban membayar tarif listrik lebih mahal karena subsidi listrik terus berkurang. Tapi, masih ada perusahaan yang menikmati subdisi listrik. Kondisi ini sangat memberatkan.
Tahun ini, tarif listrik naik bertahap sebesar 15 persen. Bahkan, pemerintah telah melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik rata-rata sebesar 10 persen sejak awal Juli 2010. Sementara, masih ada 55 perusahaan yang menikmati subsidi listrik.
Pemberian subsidi listrik bagi perusahaan besar tentu bukan lagi bentuk kemudahan usaha karena subsidi listrik juga dibutuhkan rakyat. Ini berbeda dengan semangat industrialisasi Sumitro beberapa dekade silam.
Konsep pemberian fasilitas dan kemudahaan bagi industri tentu tak bisa mengorbankan kebutuhan dasar rakyat. Di masa yang kian kompetitif ini, perusahaan dituntut memaksimalkan semua sumber daya yang ada untuk menggerakkan roda bisnis.
0 komentar:
Post a Comment