Alkisah, seorang detektif veteran yang pernah bertugas di kepolisian New York, Lincoln Ryhme, kembali harus menangani kasus pembunuhan rumit setelah polisi setempat menerima banyak laporan pembunuhan. Dia mendapat petunjuk bahwa kasus-kasus pembunuhan yang ada di wilayahnya itu dilakukan oleh pelaku yang sama.
Berbekal pengalaman sebagai penulis buku, Rhyme memiliki bukti kuat bahwa modus pelaku pembunuhan itu sangat mirip dengan cerita kriminal yang dari sebuah novel. Lokasi pembunuhan korban-korbannya sangat identik dengan cerita yang ada dalam novel tersebut. Kasus itu pun terungkap setelah polisi mengetahui lokasi yang akan digunakan pelaku untuk membunuh korban berikutnya.
Cerita tersebut tertuang dalam film bertajuk The Bone Collector. Lincoln Ryhme diperankan oleh aktor kulit hitam kawakan Denzel Washington. Film yang dirilis beberapa tahun lalu itu menceritakan tentang seorang pembunuh berantai yang melakukan aksinya setelah terinspirasi oleh sebuah novel yang juga bertajuk The Bone Collector.
"Peristiwa itu dinamakan efek peniruan atau imitation effect," kata Erlangga Masdiana, ahli kriminal dari Universitas Indonesia (UI), ketika dihubungi Republika, Kamis (9/10). Efek serupa juga diduga terjadi pada kasus-kasus mutilasi yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Erlangga meyakini, pelaku mutilasi meniru pelaku mutilasi lain dalam menjalankan aksinya.
"Seorang pelaku mutilasi bisa terinspirasi oleh kasus-kasus mutilasi yang terjadi sebelumnya," kata Erlangga. Kasus-kasus mutilasi, lanjutnya, mulai muncul ke permukaan mulai 1990-an. Pemberitaan media massa terhadap kasus-kasus mutilasi itu membuka mata masyarakat bahwa kasus mutilasi bisa terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia.
Seiring dengan munculnya kebebasan pers, pemberitaan terhadap kasus-kasus mutilasi pun semakin gencar. "Media massa terlalu detail dalam memberitakan kasus-kasus mutilasi," kata Erlangga. Bahkan, lanjutnya, televisi menayangkan dengan lengkap reka ulang yang dilakukan oleh seorang pelaku mutilasi ketika memotong-motong tubuh korbannya.
"Hal itu bisa memberikan inspirasi kepada seseorang untuk melakukan tindak kejahatan dengan cara-cara yang sama," kata Erlangga. Dari pemberitaan media massa itulah seorang pelaku mutilasi meniru pelaku mutilasi lain yang pernah menjalankan aksi serupa. Bahkan, pelaku mutilasi itu bisa menghilangkan jejak setelah belajar dari kesalahan yang dibuat oleh pelaku mutilasi sebelumnya.
Dua kasus mutilasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini setidaknya membuktikan hipotesis yang diungkapkan Erlangga. Dua hari menjelang Idul Fitri, warga Ibukota kembali dikejutkan dengan temuan potongan mayat yang ditemukan di dalam bus Mayasari Bakti P64 jurusan Pulogadung-Kalideres yang terparkir di Jl Raya Bekasi kilometer 18, Cakung, Jakarta Timur.
Petang itu, Senin (29/9), Ayung Bulkini Sidik, kondektur bus Mayasari Bakti P64 menemukan dua kantong plastik merah yang terselip di deretan tempat duduk. Mata Ayung terbelalak setelah mengetahui ada 13 potongan tubuh manusia dalam dua kantong plastik merah tersebut. Polisi pun langsung turun tangan menyelidiki kasus itu.
Ironisnya, polisi masih belum tuntas menangani kasus mutilasi dengan tersangka Ferry Idham Henyansyah alias Ryan yang dimulai sejak awal Juli 2008 lalu. "Pelaku mutilasi di Cakung itu diduga terinspirasi oleh kasus mutilasi sebelumnya, seperti kasus mutilasi dengan tersangka Ryan itu," ujar Erlangga. Pelaku tidak terinsprasi oleh cerita novel seperti dalam film The Bone Collector, namun diduga mendapat ilham dari pemberitaan media massa tentang kasus mutilasi sebelumnya.
Mutilasi bak sebuah tren kejahatan yang sedang naik daun. Berdasarkan data Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, kasus mutilasi Cakung merupakan kasus mutilasi ke delapan sejak awal 2007 lalu. Dari delapan kasus tersebut, polisi hanya mampu menuntaskan dua kasus saja. Kasus lainnya masih diliputi awan gelap.
Entah kebetulan atau tidak, namun sebagian besar lokasi penemuan korban mutilasi berada di Bekasi dan Jakarta Timur. Hanya ada dua kasus mutilasi yang lokasi penemuannya berada di luar dua wilayah tersebut. Kompleksitas kasus-kasus mutilasi membuat sebagian besar kasus mutilasi tidak ditangani polsek atau polres lagi, namun langsung diambil alih Polda Metro Jaya.
"Banyaknya kasus mutilasi yang tidak terungkap disebabkan oleh minimnya petunjuk yang ditinggalkan pelaku maupun korban," kata Erlangga. Dua kasus mutilasi yang berhasil diungkap polisi dalam dua tahun terakhir ini adalah kasus mutilasi di Hotel Bulan Mas, Jakarta Utara dengan tersangka Zaky Afrizal dan mutilasi di Apartemen Margonda Residence, Depok dengan tersangka Ryan.
"Informasi dari masyarakat memegang peranan penting dalam pengungkapan kasus mutilasi," kata Erlangga. Dia memberi contoh, ciri-ciri korban perlu disebarluaskan kepada masyarakat agar polisi mendapat informasi mengenai identitas korban. Informasi tersebut menjadi titik awal untuk mengungkap kasus-kasus mutilasi.
Korban kasus mutilasi Cakung tidak meninggalkan banyak petunjuk bagi polisi. Bagian tubuh yang menunjukkan identitas korban hanyalah tato kepala macan di lengan kanan korban. "Bagian tubuh lainnya banyak yang dihilangkan oleh pelaku," kata ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Mun'im Idris, kemarin (Kamis, 9/10).
Dia menambahkan, mutilasi dilakukan oleh seseorang dengan dua alasan, yaitu untuk menghilangkan jejak atau dilatarbelakangi oleh adanya kelainan seksual. Dalam kasus mutilasi Cakung, Mun'im lebih condong pada alasan kedua. Hal itu ditandai dengan cara pelaku menyayat korban dan barang bukti potongan tubuh hasil kejahatan pelaku.
Tim forensik baru saja memberikan hasil tes golongan darah korban kepada polisi. "Tadi pagi (Kamis, 9/10) hasilnya sudah diserahkan secara resmi kepada polisi," kata Mun'im. Dia enggan menyebutkan golongan darah korban karena itu merupakan kewenangan polisi. Tes Deoxribo Nucleic Acid (DNA) belum dilakukan karena polisi tidak polisi belum memiliki pembanding.
Hingga kemarin (Kamis, 9/10), baru ada dua keluarga yang mengaku memiliki kerabat dengan ciri-ciri fisik korban yang diumumkan polisi. Salah satunya adalah keluarga Hasan Basri yang tinggal di Bekasi, namun polisi belum bisa memastikan kebenarannya karena harus mengumpulkan bukti-bukti pendukung lain.
Sempat beredar kabar bahwa pelaku mutilasi adalah seorang perempuan yang membawa kantong plastik merah ke bus Mayasari Bakti P64. Seorang kernet sempat melihat ciri-ciri sang perempuan misterius itu, yaitu berambut pendek lurus, ukuran hidung, dan ukuran mata sedang. Polisi langsung membuat sketsa wajah sesuai deskripsi saksi, namun sketsa tersebut belum disebarluaskan.
Selain data golongan darah, polisi sudah mengantongi ciri-ciri fisik korban. "Tinggi badannya sekitar 170 centimeter, memiliki ukuran sepatu nomor 40 ke atas, dan lelaki dewasa yang sudah disunat," kata Kasat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya, AKBP Fadhil Imran. Korban juga memiliki kebiasaan melakukan perawatan kesehatan tubuh.
Harapan terakhir polisi untuk mengungkap identitas korban adalah keterlibatan masyarakat dalam memberikan informasi. "Masyarakat yang sempat menumpang bus yang sama dengan lokasi penemuan mayat pada Senin (29/9) petang diharap bisa memberikan informasi kepada polisi," kata Fadhil. Identitas korban sangat menentukan keberhasilan polisi dalam mengungkap kasus mutilasi ini. n c54
09 October, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
terima kasih amigo! besar posting!
Post a Comment