Meramal Masa Depan APEC

Kondisi perekonomian global yang dinamis menuntut APEC memperkuat kerja sama ekonomi anggotanya.

Indonesia Inc

Presiden harus menjadi Chief of Business Development (CBD).

Warisan Utang

Utang memang sudah ada sejak negara ini berdiri. Utang ini terus menyertai sejarah perjalanan Indonesia.

10 December, 2009

Jemaah Haji di Ruang Psikiatri




Ruangan di sudut lantai basement Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPIH), Makkah, tampak berbeda dibanding ruang perawatan lain. Pintu masuk menuju ruangan itu menggunakan terali besi. Di atas pintu itu terdapat papan tipis bertuliskan 'Ruang Psikiatri'.

Orang sembarangan tak bisa masuk. Pintu masuk ruangan psikiatri ini lebih sering terkunci. Hanya dokter, perawat, dan keluarga pasien saja yang bisa masuk. Namun, malam itu, Jumat (20/11), Kepala Bagian Psikiatri, dr Amienuddin, mengizinkan beberapa orang untuk masuk melihat kondisi beberapa pasien.

Sebut saja Ahmad, jamaah haji asal Maluku Utara, dia sudah tiga hari berada di Ruang Psikiatri BPIH. Penampilan dia tidak seperti jemaah haji lain yang selalu berpeci atau bersorban. Lelaki yang usianya sudah berkepala enam ini menggunakan kaos berkerah dan berkacamata hitam.

Dia sesekali berbicara menggunakan bahasa daerahnya. "Ketika datang ke sini, ngomong-nya sudah tidak nyambung," kata Amien. Ahmad ditemani oleh istrinya dan saudara perempuannya. Di saat jemaah lain berlomba memperbanyak shalat dan tawaf di Masjidil Haram, Ahmad harus berada di Ruang Psikiatri.

Melongok lebih jauh ke dalam, Ruangan Psikiatri ini memiliki ruangan-ruangan kecil lain. Amien membuka satu ruangan, namun pintu itu sulit dibuka, seperti ada yang mengganjal. "Jangan duduk di situ ya, coba pindah ke tempat tidur," kata Amien kepada pasien perempuan yang duduk di belakang pintu.

Pemandangan sedikit menyedihkan ada di ruangan lainnya. Dua orang pasien pria dewasa terbaring di lantai. Kemudian, tangan kanannya terikat pada ranjang yang terbuat dari besi. "Kalau tidak diikat suka mengamuk dan menendang-nendang," kata Amien.

Jumlah jemaah haji yang dirawat di Ruang Psikiatri ini berjumlah 15 orang. "Semuanya memang sudah ada gejala sejak dari Tanah Air," ujar Amien. Bahkan, kata dia, sudah ada jemaah yang mendapat perawatan ketika berada di Indonesia sebelum berangkat ke Arab Saudi.

Saat ini, tim dokter dan perawat di Bagian Psikiatri BPIH ini terus memberi pengobatan dan perawatan bagi para pasien untuk waktu yang belum ditentukan. Padahal, pelaksanaan puncak haji berupa wukuf di Arafah tinggal hitungan hari lagi. Hingga Jumat (20/11), sudah ada 150 jemaah haji Indonesia yang disafariwukufkan

Total seluruh pasien yang ada di BPIH ini 86 pasien. "Sebagian besar pasien berusia lebih dari 60 tahun," kata staf dokter Bidang Pelayanan Medis BPIH, dr Anita Rosari. Penyakit yang paling banyak diderita pasien adalah penyakit jantung dan saluran pernafasan.

"Ada pula jemaah haji yang kelelahan," kata Anita. Dia menyarankan, jemaah haji harus banyak minum dan mengonsumsi buah-buahan sebagai asupan vitamin. Selain itu, jemah haji juga disarankan menjaga stamina selama di Tanah Suci.

BPIH kini mulai menempati gedung baru yang memiliki empat lantai di pinggiran Makkah. Tempat tersebut layaknya rumah sakit. Di dalamnya bertugas 13 orang dokter dan 46 perawat. BPIH sudah beroperasi aktif sejak kira-kira satu bulan lalu dan akan berakhir pada awal Januari 2010 mendatang.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Departemen Agama, Slamet Riyanto, mengatakan, secara keseluruhan ada 151 jemaah haji Indonesia yang dirawat di sejumlah rumah sakit di Arab Saudi. "Sebagian besar menderita penyakit bawaan Indonesia," kata Slamet.

Di samping itu, satu jemaah atas nama Minasih binti Warya (68) menjadi korban kecelakaan lalu lintas, sehingga mengalami patah tulang dan gegar otak. Lalu, Iyet Suryanti binti Pakih (33) melahirkan bayi cesar. Keduanya dirawat di RS King Fadh Madinah.

21 October, 2009

Gempa dan Bung Hatta


Ruangan berukuran 16 meter persegi itu nyaris roboh. Lapisan temboknya sudah terkelupas, hanya terlihat susunan batu bata merah berusia tua. Keempat dinding tembok yang mengelilingi ruangan itu tidak lagi tegak, seakan tidak lagi mampu menopang atap.

Di bagian atas hanya terlihat genteng yang disangga kayu-kayu yang nyaris patah. Hembusan angin pun bisa membuat genteng-genteng itu ambruk. Meski tembok hampir roboh, namun papan tulis masih terpasang. Di lantai masih tersusun meja dan kursi dari kayu, tapi sudah tertutup debu tebal.

Ya, ruangan itu adalah ruang kelas. Tepatnya ruang kelas 9A SMP Negeri 1 Padang Jl Jend Soedirman, Kota Padang. Ruangan berarsitektur Belanda ini bukan sembarang ruang kelas. Hampir satu abad lalu, Bapak Proklamator, Mohammad Hatta, duduk di salah satu kursi kelas tersebut sebagai salah satu siswanya. Dimulai dari ruangan kecil itulah, Hatta terus bersekolah hingga ke Negeri Belanda.

Ruangan kelas Bung Hatta hancur digoyang gempa 7,6 Skala Richter pada Rabu (30/9) petang. Tak hanya ruangan kelas sang Bapak Koperasi itu saja, namun hampir seluruh kelas di SMP Negeri 1 Padang ini rusak dan tidak bisa digunakan lagi sebagai tempat belajar. Namun, pemerintah setempat tetap mewajibkan kegiatan belajar mengajar harus dimulai pada Senin (5/10).

Pagi itu, tepat pukul 07.30 WIB, sesuai jadwal yang ditetapkan pemerintah, siswa SMP Negeri 1 Padang berkumpul di sekolahnya. Seolah tidak ingin memalukan nama besar Bung Hatta, hampir semua siswa menunjukkan semangat belajar meski hati masih sedih dan trauma akibat gempa. Mengenakan seragam putih biru, satu per satu siswa menyalami guru-guru dan kepala sekolah.

Inilah kali pertama mereka bersua setelah gempa melanda Sumatera Barat. Beberapa siswa dan guru tampak meneteskan air mata. "Hari ini rencananya kami akan berkumpul dengan para siswa untuk menjelaskan kondisi sekolah, sekaligus memberikan bimbingan konseling dan agama bagi para siswa agar tidak trauma," kata Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Padang, Ahmad Nurben, kepada Republika, Senin (5/10) pagi.

Menurut Nurben, sebelas dari 21 ruang kelas di sekolahnya tidak bisa digunakan. Menurut dia, bangunan SMP Negeri 1 Padang merupakan bangunan cagar budaya yang tergolong dilarang untuk dipugar. Namun, bagian bangunan lain merupakan gedung baru. Ruang kelas yang rusak berada di gedung tua yang sudah berusia ratusan tahun.

"Sudah ada petugas dari Dinas Pekerjaan Umum yang meninjau, tapi tidak menjelaskan apakah kelas-kelas ini bisa dipakai," ujar Nurben sambil menunjuk ruang kelas yang rusak. Berdasarkan kondisi fisik, hanya sebelas ruang yang bisa digunakan. Pihak sekolah, kata dia, harus meyakinkan para siswa untuk berani masuk ke dalam kelas agar kegiatan belajar mengajar bisa berjalan.

Dalam kondisi normal, jam belajar di SMP Negeri 1 Padang ini dimulai pada pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. "Dengan kondisi ruang kelas yang terbatas, kami rencananya membagi jam belajar menjadi dua bagian, yakni O7.00-12.30 WIB dan 13.30-18.00 WIB. Di sekolah rintisan bertaraf internasional ini terdapat 118 siswa, hampir 80 persen hadir di hari pertama sekolah pascagempa.

"Kami ingin ada ahli konstruksi datang ke mari untuk memastikan bahwa bangunan ini aman, karena itulah yang bisa meyakinkan siswa," kata Nurben. Dia juga mengetuk hati para alumni SMP Negeri 1 Padang untuk memberikan kontribusi. Maklum, sekolah ini merupakan penghasil cendikiawan dari Padang, Irwan Prayitno dan Azwar Anas. Menurut Nurben, bangunan sekolah harus dipertahankan karena merupakan bagian dari sejarah bangsa.

Salah seorang anak Bung Hatta yang kini menjadi menteri, Meutia Hatta, sempat dikabarkan akan mengunjungi sekolah ini sebelum gempa melanda. Namun, rencana itu tak terdengar lagi. Satu siswa SMP Negeri 1 Padang dinyatakan tewas akibat gempa ketika berada di gedung Lembaga Bimbingan Belajar Gama, sedangkan satu guru juga meninggal ketika memberikan les di Lembaga Bahasa Asing LIA.

Safwan, orang tua siswa SMP Negeri 1 Padang kelas 7A bernama, Permatayesa Ulgania, mengatakan, dia sengaja mengantar anaknya ke sekolah karena tidak yakin akan berlangsung kegiatan belajar mengajar. "Saya khawatir jika tetap belajar, bangunan hampir roboh," kata Safwan. Dia pun memutuskan untuk menunggu anak keduanya itu hingga pulang. Di Kota Padang terdapat 75 SMP, 37 di antaranya berstatus negeri. Hampir seluruh bangunan sekolah terkena dampak gempa.

Begitu pula kondisi bangunan SMA di Kota Padang. Bahkan, SMA PGRI 1 Padang memutuskan untuk meniadakan kegiatan belajar mengajar dengan alasan keselamatan. Lagipula, hanya 30 orang siswa yang bersekolah pada Senin (5/10). Sedangkan, 570 siswa sisanya tidak hadir. "Hari ini kami hanya apel saja, menjelaskan kondisi sekolah kepada siswa," kata guru SMA PGRI 1 Padang, Rusli Thalib.

Tidak jauh dari SMA PGRI 1 Padang, terdapat bangunan SMA Negeri 1 Padang juga sebagian besar kelasnya hancur. Namun, pihak sekolah bertekad untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. SMA Negeri 1 Padang merupakan salah satu sekolah yang terkena dampak gempa terparah. Dari 24 ruang kelas, hanya empat ruang kelas yang bisa dipakai.

"Sesuai instruksi pemerintah, hari ini (Senin, 5/10) siswa harus mulai belajar," kata Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Padang, Jufril Siri, usai memberi pengarahan kepada seluruh siswanya. Sekolah ini memiliki 775 siswa yang harus tetap belajar. Menurut Jufril, pihaknya membutuhkan enam tenda untuk menggantikan kelas yang rusak.

Namun, tenda yang tersedia di SMA Negeri 1 Padang hanya satu, yakni bantuan dari Unicef. "Belajar itu penting karena merupakan salah satu terapi untuk menghilangkan trauma siswa," kata Jufril. SMA Negeri 1 Padang juga merupakan almamater sejumlah pejabat, di antaranya Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan Dirut PT Semen Padang Endang Irzang.

Salah seorang siswa SMA Negeri 1 Padang, Yogie Prakoso, mengaku tetap ingin belajar dalam kondisi apapun. "Ingin tetap belajar. Biar di dalam tenda tapi tetap belajar," kata Yogie. Dia mengaku sedih dengan gempa yang melanda tempat tinggalnya, namun hal itu tidak membuat Yogie surut semangatnya untuk belajar. Di SMA Negeri 1 Padang, satu siswa meninggal tertimpa reruntuhan di rumahnya dan satu staf tata usaha bernasib serupa.

Di Kota Pariaman, siswa sekolah juga belum bisa melakukan kegiatan belajar. Siswa SMP Negeri 1 Pariaman sudah datang ke sekolahnya sejak pagi, namun niat belajar terpaksa pupus karena kondisi sekolah benar-benar hancur. Mereka terpaksa kembali ke rumah masing-masing, padahal mereka telah berseragam lengkap dan membawa alat tulis. Pihak sekolah belum menerima tenda sebagai lokasi tempat belajar sementara.

Sekolah-sekolah di Ranah Minang ini boleh saja hancur, namun terbukti bahwa orang Minang memiliki semangat belajar yang tinggi. Wajar jika banyak pemimpin, cendikiawan, hingga penyair yang lahir di tanah ini, sebut saja Buya Hamka dan M Hatta. Guru dan siswa sekolah berharap bantuan segera datang, sekolah diperbaiki, dan kegiatan belajar pun bisa dimulai. Semoga. n ikh

27 August, 2009

Indonesia's Election: A Brief Comparison

As a journalist who write a lot about election in Indonesia, I'm not really interest in observing elections in other contries until my associate describe about election in Afghanistan, a country in the middle of nowhere which I don't have a clue to locate it on the map, maybe somewhere around Pakistan or Kazakhstan.

War and conflict are two things that cross in my mind when I heard about Afghanistan. Amazingly, according to my associate who observed the election directly in the area, this ex-Soviet country run a well-managed elections. My curiousity come to a start. I begin to dig informations about it, then I'm hunger for more.

I'm not satisfied with books I've read about Afghanistan election. So, I'm ended up in Wikipedia. This free-encyclopedia nakedly describe about Afghanistan election. Many things pounding in my head. Unconsciously, I made a comparison with the election in Indonesia, including basic principles, techniques, methodes, etc.

I'm new in reporting election. Started a first step in journalistic activities at Indonesia's General Elections Commission in January 2009. It was not easy at the first week, but many journalist friends are kind and settled things up. I move along, day by day. Then I learned so many things about Indonesian election, something that far with my educational background, animal science.

Long-story shorted. A comparison between Afghanistan dan Indonesian election showed which one more perfect than the other. I'm arrived in a conclusion that we need to learn harder as democratic country. A lot of countries held a better elections than ours, including Afghanistan. The description below will show you why we've to learn how to run election to Afghanistan.

Forty-four candidates registered for the Afghanistan's presidential election, with the Independent Election Commmission of Afghanistan (IEC) announcing its official preliminary list of registered candidates on May 17, 2009. Three candidates withdrew from the race before the election took place, having thrown their support behind one of the top two contenders.

Security concerns prevented Afghan's presidential candidates from campaigning in most of the provinces, and candidates running for provincial councils were under constant threat wherever they went. 12 out of Afghanistan's 34 provinces remained classified as "high risk" by the Afghan Ministry of Interior casting into doubt the ability of over one-third of the country to participate in the elections.

It showed how rush the conflict-atmosphere during election. But, in my perspective, Afghan peoples somehow able to managed conflict in order to prevent harsh effects in the election. In the other words, conflict only happened in the surface of the local politic environment. No records about cheating or manipulating election result. If there was, maybe its not really significant.

While in Indonesia, a-so called-democratic election ruined by catasthropic vote-manipulating. There was no bloody conflict during legislative and presidential election around the islands. It means, the surface was clean, but in the inside there was a dirty agenda which Indonesian election observers couldn't reach. The main actors also remain untouchable.

Indonesia's Constitutional Court mentioned that General Elections Commissions seems unprofessional in doing their tasks. As a matter of fact, the Court ordered the Commission to held vote-recount in several districts as a result of miscounting and lack of documents that contain vote recapitulation summaries.

Constitutional Court ex-judge, Jimly Ashiddieqy, told me on a private conversation, 2009 election is the worst election in Indonesia's history. Even the first election in 1955 is more better than now. But, Jimly still optimist that 2009 election is the last election of the transition era. And the next elections will be far better.

Well, let me simplify, Indonesia need to learn how to be honest in run an election. Politicians must consider the election as a fair game. Election not only about the result, but also the process in it. Afghan peoples have tried the best even when they can't. So why haven't we?