Meramal Masa Depan APEC

Kondisi perekonomian global yang dinamis menuntut APEC memperkuat kerja sama ekonomi anggotanya.

Indonesia Inc

Presiden harus menjadi Chief of Business Development (CBD).

Warisan Utang

Utang memang sudah ada sejak negara ini berdiri. Utang ini terus menyertai sejarah perjalanan Indonesia.

09 January, 2011

Meramal Masa Depan APEC

Dalam beberapa pekan terakhir, Asia Timur menjadi pusat perhatian para ekonom, analis, dan para penentu kebijakan dari berbagai dunia. Alasannya, dua kota di kawasan ini menggelar hajatan pertemuan ekonomi besar dunia, yaitu Group of 20 (G20) di Seoul, Korea Selatan, dan Kerja Sama Ekonomi Negara-Negara Asia Pasifik (APEC) di Yokohama, Jepang.

Dua konferensi itu digelar dalam waktu yang hampir bersamaan. Konferensi APEC di Yokohama 13-14 November 2010 cukup mendapat perhatian dunia. Wajar, usia APEC sudah lebih dari dua dekade dan terus mengadakan pertemuan rutin. Asia Pasifik memang menjadi salah kutub perekonomian dunia, khususnya dalam lima tahun terakhir.

Distrik Minato Mirai di kota pelabuhan Yokohama yang bersuhu 16 derajat celcius menjadi lokasi pertemuan 21 kepala negara anggota APEC pada Sabtu (13/11), termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membahas perkembangan perekonomian dunia, salah satunya perdagangan bebas terbuka, topik yang selalu menjadi isu APEC sejak pertemuan di Bogor pada 1994 silam.

Pertemuan APEC 1994 di Bogor menghasilkan Bogor Goals yang isinya berupa komitmen untuk mencapai perdagangan dan investasi bebas terbuka pada 2010 bagi negara industri dan pada 2020 bagi negara berkembang. Bogor Goals menjadi manifestasi dari ambisi negara-negara APEC bahwa perdagangan bebas terbuka merupakan cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pada pertemuan APEC di Yokohama ini dilakukan assessment terhadap Bogor Goals oleh lima negara industri di APEC yang dikenal dengan 'The Five', yakni Australia, Kanada, Jepang, New Zealand, dan Amerika Serikat, serta beberapa perwakilan negara berkembang, menyatakan masih banyak yang harus dikerjakan terlebih dulu sebelum melaksanakan Bogor Goals yang di dalamnya menyepakati perdagangan bebas terbuka.

Beberapa media asing lebih ekstrim lagi menginterpretasikan kesepakatan itu. APEC dianggap gagal mewujudkan kawasan perdagangan bebas terbuka di Asia Pasifik. Padahal, rencana itu sudah disusun hampir dua dekade sebelumnya, namun kesepakatan perdagangan bebas terbuka itu malah dinyatakan sebagai rencana jangka panjang.

Dalam hasil pertemuan pemimpin negara-negara APEC terkait Bogor Goals Assessment pada Ahad (14/11) dijelaskan, upaya pencapaian Bogor Goals telah memperlihatkan hasil signifikan. Nilai perdagangan negara-negara APEC telah memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. APEC pun melansir angka untuk memperkuat klaimnya itu.

Dalam kurun 1994-2009, perdagangan negara-negara APEC dengan negara lain di dunia meningkat rata-rata 7,1 persen per tahun dengan capaian 11,4 triliun dolar AS pada 2009. Nilai perdagangan komersil di kawasan APEC juga meningkat rata-rata 7 persen, atau mencapai 4 triliun dolar AS pada 2009. Sedangkan, Inflows of foreign direct investment (FDI) di kawasan APEC meningkat 13 persen per tahun sejak 1994 and Outflows of foreign direct investment (ODI) 12,7 persen per tahun.

Presiden Tiongkok Hu Jintao seperti dikutip China Radio Internasional mengatakan Bogor Goals memiliki arti monumental bagi perkembangan APEC ke depan. Hu juga mengakui, "Tahun ini adalah batas waktu terakhir bagi anggota-anggota negara berkembang APEC untuk mewujudkan Bogor Goals," kata Hu dalam pertemuan puncak APEC, Ahad (15/11).

Namun, Hu menyadari bahwa proteksionisme telah meningkat di kawasan Asia Pasifik. Perekonomian global juga masih dibayangi ketimpangan (imbalances). Oleh karenanya, dalam pernyataan akhir para pemimpin negara APEC, konsep perdagangan bebas terbuka di Asia Pasifik bukan disebut sebagai hasil akhir, melainkan sebagai 'aspirasi yang perlu diterjemahkan lebih konkret lagi'.

Wajar jika Hu menganggap proteksionisme masih tinggi. Mudah diprediksi, pernyataan Hu itu mengarah kepada AS yang mengumumkan quantitative easing atau pengucuran dolar sebesar 600 miliar ke pasar. Dolar pun melemah, lantas membuat konsumsi produk dalam negeri AS meningkat. Ekspor AS lalu meningkat, ekonomi tumbuh, pengangguran di AS pun berkurang. Inilah proteksionisme.

Data perdagangan Departemen Keuangan AS menunjukkan, total ekspor AS pada Oktober 2010 mencapai 153,9 miliar dolar AS, jauh dari angka impor barang dan jasa yang mencapai 200,2 miliar dollar AS. Impor barang dan jasa dari Cina tumbuh 6,1 persen pada Agustus mencapai rekor sebesar 35,3 miliar dolar AS. Sementara, defisit perdagangan AS-Cina juga menyentuh angka baru sekitar 28 miliar dolar AS, ketika ekspor AS ke Cina stagnan di angka 7,3 miliar dolar AS.

Namun, APEC tetap menganggap ada progres signifikan dalam mencapai mimpi perdagangan bebas terbuka di Asia Pasifik. APEC melalui Trade Facilitation Action Plan (TFAP), mengklam berhasil menekan biaya perdagangan di Asia Pasifik sebesar 5 persen dari 2002 hingga 2006. Tambahan penurunan biaya 5 persen lagi melalui TFAP tahap dua bisa tercapai 2010 ini.

Jika target perdagangan bebas terbuka bagi negara industri APEC belum kunjung tercapai pada 2010 ini, bagaimana dengan perdagangan bebas terbuka bagi negara berkembang APEC pada 2020? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut hadir di pertemuan APEC 2010 di Yokohama ini masih optimis menjawab pertanyaan itu.

"Memang dari observasi kebersamaan kita dalam APEC ini hasilnya nyata, apakah itu peningkatan forum perdagangan, peningkatan volume perdagangan intra-APEC, kemudian penurunan tarif, peningkatan foreign direct investment, peningkatan services, itu nyata ada yang lima kali lipat, tiga kali lipat," kata Presiden selepas mengikuti pertemuan pertama APEC, Sabtu (13/11).

Presiden menegaskan, APEC masih tetap relevan di tengah banyaknya pertemuan-pertemuan ekonomi negara-negara di dunia, seperti G7 dan G20. Presiden beralasan, ketika Bogor Goals dirumuskan, perekonomian dunia masih dikendalikan oleh negara-negara maju. Dalam perjalanannya, terjadi krisis pada 1998 dan 2008, lalu muncullah emerging countries, seperti Brazil, Tiongkok, dan India.

Presiden memberi catatan, APEC bisa tetap relevan jika forum ini tidak hanya berhenti pada perdagangan dan investasi bebas terbuka saja. "Juga perlu pembangunan kapasitas, fasilitasi negara-negara berkembang harus diberikan agar juga bisa ikut tumbuh perekonomian negara berkembang itu dalam rangka APEC, kemudian juga ada isu lain, misalnya konektivitas, supaya lebih bagus logistik di kawasan ini," kata Presiden.

Ekonom senior The Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Raja Silalahi, juga mengakui bahwa masih perlu banyak waktu bagi APEC dalam mewujudkan cita-citanya. "Perlu menyamakan persepsi dulu mengenai apa yang bisa dilakukan," kata Pande ketika dihubungi, Senin (15/11). Hal itu butuh waktu yang tidak lama.

"Setidaknya perlu 2-3 tahun bagi APEC," kata Pande. Meski demikian, Pande tetap berpendapat bahwa APEC masih tetap relevan di tengah banyaknya forum-forum ekonomi lain yang saat ini getol dilakukan oleh para pemimpin dunia. Menurut Pande, APEC datang lebih dulu dibanding G20, G7, dan forum-forum ekonomi lainnya. (photo courtesy: AP Photo)