Meramal Masa Depan APEC

Kondisi perekonomian global yang dinamis menuntut APEC memperkuat kerja sama ekonomi anggotanya.

Indonesia Inc

Presiden harus menjadi Chief of Business Development (CBD).

Warisan Utang

Utang memang sudah ada sejak negara ini berdiri. Utang ini terus menyertai sejarah perjalanan Indonesia.

02 November, 2012

Warisan Utang

Belanda tak begitu saja menerima Proklamasi kemedekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks berisi pernyataan kemerdekaan ini tak mengubah status Indonesia di mata Belanda. Indonesia tetaplah sebagai gugusan kepulauan di khatulistiwa yang jadi bagian Belanda sejak ratusan tahun.

Negara kecil di Eropa ini merasa wilayah Indonesia masih sebagai daerah jajahannya yang bernama Hindia Timur atau Hindia Belanda. Tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda memilih opsi agresi militer. Mereka merekrut pemuda-pemuda dari penjuru Belanda, lalu mengirimnya sebagai tentara ke Indonesia untuk merebut kembali Hindia Belanda.

Jalan kekerasan yang dipilih Belanda ini ternyata mendapat perlawanan sengit dari pejuang kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama, Belanda juga mendapat kecaman dari dunia internasional. Belanda perlahan sadar bahwa agresi militer bukan pilihan tepat. Jalur diplomasi mulai jadi pilihan berikutnya.

Indonesia dan Belanda menggelar sejumlah pertemuan sebagai langkah diplomasi, di antaranya Perundingan Linggajati, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Roijen, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Pertemuan yang disebut terakhir merupakan puncak dari strategi diplomasi Indonesia dan Belanda.

KMB berlangsung di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Wakil Presiden M Hatta memimpin delegasi Indonesia. KMB memiliki banyak makna politik. Selama ini, KMB dipahami sebagai awal pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Ini adalah syarat dari Belanda sebelum memberi pengakuan kedaulatan.

Ada aspek penting yang kerap terlupakan dalam hasil KMB. Kesepakatan ini ternyata tak hanya berisi aspek politik, melainkan juga ada aspek ekonomi. Dalam satu satu hasil KMB menyebutkan, RIS harus mengambil alih utang Hindia Belanda! Ini berarti, semua utang Hindia Belanda ketika itu harus dibayar oleh RIS. Jumlahnya lebih dari 1 miliar dolar AS.

Bagai petir di siang bolong. Indonesia yang sedang berupaya mempertahankan kemerdekaan dan menata kehidupan politik di dalam negeri tiba-tiba mendapat beban utang. Bagaimana mungkin, negara yang baru saja berdiri dan belum berpikir untuk menerima pinjaman dari luar negeri, tiba-tiba punya beban utang dalam anggaran negaranya.

Ini adalah awal dari sejarah utang luar negeri Indonesia. Utang memang sudah ada sejak negara ini berdiri. Utang ini terus menyertai sejarah perjalanan Indonesia. Celakanya, Indonesia tak hanya punya utang lama yang merupakan warisan Hindia Belanda, tapi juga menimbun utang-utang baru di setiap rezim.

Orde Lama tak luput dari utang. Justru, utang ini jadi alat baru bagi negara-negara Barat untuk menjajah Indonesia. Masuknya kesepakatan pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh RIS dalam KMB juga tak terlepas dari pengaruh negara Barat, khususnya AS. Wajar, perusahaan minyak asal AS ada yang sudah bercokol di Indonesia sejak 1920-an silam.

Soekarno menolak membayar utang warisan kolonial dan waspada terhadap utang-utang baru. 'Go to hell with your aids,' begitu ucapan Soekarno kepada AS.  Namun, Orde Lama tetap punya catatan utang. Di luar utang warisan kolonial, Indonesia punya utang luar negeri lebih dari 3 miliar dolar AS.

International Monetery Fund (IMF) makin menguatkan cengkeramannya di Indonesia memasuki Orde Baru. Koalisi Anti Utang mencatat, utang selama Orde Baru membengkak jadi 54 miliar dolar AS. Selama 32 tahun, utang bukannya dilunasi, tapi malah dijadikan alat memperkaya diri para pejabat negara.

Empat rezim setelah Orde Baru juga bergelimang utang. Hingga Mei 2012, total utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 1.944,14 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 638 triliun, pinjaman dalam negeri Rp 1 triliun, dan surat berharga negara (SBN) Rp 1.304 triliun. Itu menjadikan utang Indonesia tertinggi di ASEAN.

Tahun depan, pemerintah sudah berencana menarik utang baru senilai Rp 45,9 triliun. Pinjaman ini untuk penerusan pinjaman Rp 6,9 triliun dan cicilan pokok utang luar negeri senilai Rp 58,4 triliun, sehingga pembiayaan luar negeri netto sebesar negatif Rp 19,4 triliun.

Utang memang tak bisa lepas dari perekonomian suatu negara. Sumber dana dari luar kerap dibutuhkan, khususnya untuk proyek fisik. Dalam kondisi ekonomi global yang labil saat ini, semua negara berlomba memperkuat cadangan fiskal. Oleh karenanya, penarikan dana dari luar negeri cukup beralasan.

Negara besar seperti AS pun punya utang besar. Bahkan, pada September 2012, utang AS mencapai 16,4 triliun dolar AS. Itu merupakan jumlah utang tertinggi sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. Masalah utang menjadi perhatian seluruh negara di dunia. Mereka tak ingin ekonomi negaranya bernasib seperti Yunani dan Spanyol yang kolaps karena utang.

Apakah Indonesia bisa bebas dari utang? Berat, bahkan nyaris tak mungkin. Ketika memutuskan mengambil utang baru, pemerintah masih mencicil utang lama. Perhatian berikutnya bukan pada penghapusan utang, tapi menjaga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Indonesia berada pada rasio 24 persen.

Berdasarkan data di laman The Economist, rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 24,7 persen, terendah di antara negara ASEAN. Ini bukan berarti pemerintah berpuas diri. Paradigma utang harus berubah dari memperkecil rasio menuju menekan nominal. Utang lama harus segera tuntas dan utang baru haram bertambah.

Upaya itu akan sia-sia jika tak dibarengi dengan pengawasan dalam pemanfaatan utang. Dana pinjaman ini harus benar-benar terasa manfaatnya bagi perekonomian domestik. Tujuan utamanya adalah kesejahteraan masyarakat. Mereka yang memanfaatkan utang untuk kepentingan pribadi atau golongan pantas dihukum mati.

29 August, 2012

Pohon Soekarno dan Gerakan Reboisasi


Soekarno mendapat kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji pada 1955. Seperti halnya jamaah yang lain, Soekarno pun melaksanakan berbagai tahapan ibadah haji di Tanah Suci. Tak ada keistimewaan yang didapat Soekarno meski menyandang status sebagai presiden dan tokoh paling berpengaruh di Gerakan Nonblok kala itu.

Soekarno juga ikut merasakan panasnya Padang Arafah ketika melaksanakan wukuf sebagai salah satu syarat sahnya ibadah haji. Panasnya Padang Arafah membuat Soekarno berpikir. Sebagai seorang insinyur, dia memutar otak untuk mencari jalan keluar agar jamaah haji tak terpanggang terik matahari ketika wukuf.

Seusai melaksanakan ibadah haji, Soekarno bertemu dengan pejabat Kerajaan Arab Saudi. Pada kesempatan inilah Soekarno menyampaikan gagasan-gagasannya tentang ibadah haji. Dia mengusulkan agar ada penghijauan di Padang Arafah. Soekarno meminta kerajaan agar mengubah padang tandus itu dengan pepohonan.

Soekarno tak memberi omong kosong. Setelah kembali ke Tanah Air, Soekarno mengirim pohon khas Indonesia yang tahan hidup di padang tandus, namanya pohon mindi, ada pula yang menyebutnya pohon imba. Gayung bersambut. Kerajaan Arab Saudi melakukan penghijauan di Padang Arafah sebagai penghargaan atas gagasan Soekarno.

Pemerintah Indonesia juga mengirimkan ahli tanaman ke Arab Saudi untuk me muluskan rencana itu. Kerajaan Arab Saudi juga tak main-main, mereka menyiapkan berbagai infrastruktur pendukung. Di dalam tanah tempat tumbuhnya pohon mindi ini tersimpan pipa sehingga setiap batang pohon bisa tersiram air.

Beberapa tahun kemudian, mimpi Soekarno terwujud. Padang Arafah perlahan mulai hijau. Saat ini, pohon-pohon itu masih tumbuh di Padang Arafah dan melindungi jutaan jamaah haji ketika wukuf. Jamaah haji bisa terkena denda atau dam jika mematahkan ranting pohon itu. Sebagai bentuk penghargaan, Kerajaan Arab Saudi menamai pohon tersebut dengan "Pohon Soekarno".

Soekarno juga menerapkan gagasangagasannya soal lingkungan di negeri sendiri. Banyak kebijakan pemerintah pada masa Presiden Soekarno yang bertujuan untuk melindungi lingkungan. Salah satunya pencanangan Pekan Penghijauan Nasional pada 17 Desember 1961 di Puncak, Bogor, Jawa Barat.

Inilah cikal bakal program reboisasi hutan dan penghijauan. Soekarno tak ingin hutanhutan yang ada di Indonesia menjadi padang tandus seperti di Arab Saudi. Sayangnya, setelah pucuk pimpinan negeri ini berganti, kebijakan Soekarno ini makin tak jelas. Justru, terjadi deforestasi besar-besaran. Pohon-pohon digergaji, tanah digali.

Bedasarkan data Bank Dunia, deforestasi setelah 1970-an mencapai 300 ribu hektare per tahun dan menjadi 600 ribu hektare per tahun pada 1981. Jumlah itu meningkat menjadi satu juta hektare per tahun pada 1990. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1990 menunjukkan, deforestasi selama 1980-1990 seluas 0,9- 1,3 juta hektare per tahun.

Bencana pun menyusul. Banjir bandang dan longsor beberapa kali terjadi di berbagai daerah. Beberapa di antaranya justru terjadi di daerah yang dikelilingi hutan. Penebangan pohon besar-besaran ternyata menuai bencana. Pemerintah mulai kalang kabut. Reboisasi yang dulu dicanangkan Soekarno kembali didengungkan, hanya istilahnya saja yang berubah jadi rehabilitasi lahan.

Namun, upaya itu belum terlihat membuahkan hasil. Awal Oktober 2010, banjir bandang melanda Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat. Korban tewas nyaris 100 orang dan puluhan orang hilang. Ratusan warga terpaksa harus tinggal di pengungsian karena tempat tinggalnya tersapu banjir.

Musibah banjir bandang terjadi di Kota Padang, Sumatra Barat, pada Selasa (24/7) sekitar pukul 18.30 WIB. Meski tidak ada korban tewas, delapan warga sempat hilang tersapu banjir bandang. Bukan hanya rumah warga yang rusak, tetapi beberapa jembatan di Padang juga rusak akibat tersapu banjir bandang.

Ironi. Itulah kata paling tepat yang bisa menggambarkan musibah banjir bandang di Indonesia. Bayangkan saja, Papua yang dulu lebat dengan pepohonan kini mulai menjadi lokasi banjir bandang. Padang juga dulu dikelilingi oleh pepohonan, namun kini tak berdaya menahan arus banjir yang datang seketika itu.

Kebijakan pemerintah tentang lingkungan belum terlihat hasilnya. Gerakan menanam pohon yang selama ini gencar digembargemborkan tak terasa dampaknya di daerah. Itu wajar saja karena penanaman pohon selama ini hanya menjadi kegiatan seremonial semata atau jadi salah satu kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan besar.

Percuma saja jika menanam pohon hanya di halaman kantor, lapangan parkir, di pinggir jalan protokol, dan di pekarangan sekolah. Daerah yang lebih membutuhkan pohon justru berada di lahan kritis yang ada di gunung-gunung yang dulunya menjadi rumah bagi berbagai jenis pohon.

Harapan itu tetap ada, apalagi kalau melihat dana yang diterima pemerintah untuk upaya penghijauan ini. Salah satunya kerja sama Norwegia dan Indonesia untuk mendukung upaya Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari penebangan dan degradasi hutan serta tanah gambut. Norwegia mendukung upaya ini melalui bantuan dana sampai dengan satu miliar dolar AS berdasarkan kinerja Indonesia.

Dana dari Norwegia ini datang tak lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2009 menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida Indonesia hingga 26 persen pada 2020. Komitmen ini merupakan komitmen terbesar yang pernah diutarakan oleh negara berkembang. Indonesia telah menetapkan target absolut dan Norwegia ingin membantu upaya Pemerintah Indonesia mencapai komitmen tersebut.

Indonesia kini juga terlibat dalam skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yakni mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit.

Jumlah kredit karbon dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Kredit yang dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutan. REDD menjadi bentuk insentif finansial untuk pelestarian hutan.

Indonesia kini terus berusaha menekan emisi karbon dan mencegah deforestasi. Angka deforestasi di negeri ini memang terus menurun, tapi entah kapan bisa berhenti. Jika dulu Soekarno sanggup menghijaukan padang tandus di Arab Saudi, kini Indonesia justru berjuang menanam kembali pohonpohon yang dulu ditebang.

Photo courtesy: Forest & Kim Starr