Meramal Masa Depan APEC

Kondisi perekonomian global yang dinamis menuntut APEC memperkuat kerja sama ekonomi anggotanya.

Indonesia Inc

Presiden harus menjadi Chief of Business Development (CBD).

Warisan Utang

Utang memang sudah ada sejak negara ini berdiri. Utang ini terus menyertai sejarah perjalanan Indonesia.

04 August, 2011

Agriculture: The Forgotten One


In the modern State of Indonesia, that is quite old, the Indonesian people still covered a wide range of issues. The Indonesia's economic crisis in 1998 is peak impotence of the country's problems. The economic crisis led President Soeharto resigned before his term ended.

The end of Soeharto-era and is not accompanied by the end of the economic crisis. The leadership changes and changes in economic policies cannot help people rise from poverty. Rising prices and falling purchasing power make people choke and forced them to return to the use of wood for cooking and tubers for food. Conditions are not very different with the food shortages in the 1950s, when President Sukarno was in power. This shows that this nation has no significant progress after 55 years.

Indonesia is rich in natural resources with enormous potential of it. On the basis of those considerations, it seems reasonable, if the people proud with Indonesia as an agrarian country. However, it was not accompanied by the desire of the pride wealth to develop and exploit it. This was proved when the agricultural sector is no longer seen as the economic arm of the country. The rulers of this country more temptation to stimulate industrialization and mechanization, which was helpless when the wave of economic crisis.

The agricultural sector has proven to be a sector that remains standing strong when the economic crisis engulfing the nation. Agriculture is not negatively affected from the shock of economic crisis. In fact, when the conglomerates in the capital fell into bankruptcy and debt, some farmers in different regions of increased incomes and improved living standards. The fall of the rupiah against the dollar could increase the selling value of commodities produced by farmers. This makes the agricultural sector still exist and persist.

Agricultural economic system has proven to increase employment. When other companies went bankrupt and dismissed its employees in connection with the economic crisis, the agricultural sector remains strong and simply ogled many to be the place for business. Employment in the agricultural sector is open to all, the experience is different. The agricultural sector can absorb skilled manpower and unskilled. Production processes in the agricultural sector can take place in towns and villages in order to reduce the urbanization, which is now growing. According to the Ministry of agriculture (2002) of the agro-industrial sector can increase employment more than 350,432 peoples.

Agricultural development no longer a priority. Agricultural functions in the economic system of Indonesia has inexistence. Since 1985, the development paradigm has shifted into high-tech industry-driven development. In fact, based industrialization development strategy will trap the nation from dependence on imported raw materials. In other words, the industry is highly vulnerable to the volatility of the rupiah against the dollar advanced and can deplete foreign exchange reserves, so it will not be helpless when faced with economic crisis.

Ironically, once Indonesia is self-sufficient in rice in 1984, it has become one of the largest in the country of the rice importers. Indonesia had made a sale of aircraft production PTDI are compensation with Thailand. Aircraft is exchanged with the rice, an act that should not be done by an agrarian country, such as Indonesia.

The Government in Soeharto-era seems satisfied with the award to the achievements of FAO Rice self-sufficiency in 1984. Direction of development made the leap to sophisticated high-tech industry. The lack of attention to the agricultural sector is the beginning of a calamity to the nation. Farmlands converted into industrial land will give rise to food production declined. The population and the availability increased demand for food in abundance. Rice imports a final exit. (Photo courtesy of UN File/P Sudhakaran).

25 March, 2011

Memprediksi Tsunami Menggunakan Ethologi

Gelombang air laut mahadahsyat menghantam wilayah timur laut Jepang pada Jumat (11/3). Gempa sebesar 8,9 Skala Richter memicu gelombang tsunami, membuat air laut seolah tumpah ke darat dan menyeret apa pun yang berada di hadapannya. Siaran stasiun televisi Jepang NHK memperlihatkan air laut menerjang segala yang ada di pelabuhan, lahan pertanian, jalan, hingga gedung-gedung di perkotaan. Tsunami itu menjadi salah satu bencana terdahsyat di Negeri Sakura.

Meski banyak versi tentang jumlah korban jiwa, namun media-media di Jepang menyebut korban jiwa bisa mencapai ribuan orang, belum termasuk korban yang masih tertimbun. Bantuan kemanusiaan dan regu penyelemat dari berbagai dunia, termasuk Indonesia, berduyun-duyun masuk ke Jepang. Bencana di Jepang ini membuat seluruh dunia ikut waspada. Setidaknya ada 20 negara yang memberlakukan ‘waspada tsunami’ di wilayahnya masing-masing. Beberapa jam setelah gempa di Jepang, tsunami juga ikut mampir di Papua, menyeret rumah-rumah nelayan.

Di tengah keprihatinan atas bencana yang merenggut korban nyawa dan materi yang amat banyak, muncul kekhawatiran lain. Gempa juga telah menyebabkan kebocoran atap bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang terletak tidak jauh dari Kota Sendai atau sekira 250 kilometer di utara Tokyo. Semua warga yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari PLTN langsung diungsikan untuk mencegah dampak radiasi. Kondisi itu membuat sejumlah pihak khawatir bencana radiasi nuklir di Chernobyl, Uni Sovyet, pada 1986 silam kembali terulang di Jepang.

Jepang dianggap sebagai satu-satunya negara yang memiliki mitigasi dan langkah antisipasi paling baik dalam menghadapi berbagai bencana. Jepang merupakan negara kepulauan yang berada dalam wilayah bencana. Kondisi itu membuat Jepang memiliki infrastruktur dan teknologi yang baik dalam mengadapi bencana, khususnya gempa. Hampir seluruh gedung di Jepang berteknologi tahan gempa, alat deteksi tsunami dan gempa ada di mana, dan tak terhitung lagi ilmuwan yang mempelajari gempa.

Kerusakan dan korban jiwa yang dialami Jepang akibat tsunami membuktikan bahwa kesiapan dalam menghadapi bencana sangat penting untuk dimiliki negara mana pun. Salah satu kunci untuk meningkatkan kesiapan dan mengurangi dampak kehancuran akibat tsunami adalah sistem peringatan dini (early warning system). Semakin cepat peringatan tsunami didapat, semakin minim jumlah korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan. Sistem peringatan dini sebagain besar menggunakan teknologi canggih yang berbiaya tinggi, ada salah satu bagian alatnya yang harus ditempatkan di dasar lautan.

Salah satu alternatif untuk memprediksi datangnya tsunami adalah ethologi, yakni ilmu yang mempelajari gerak-gerik atau tingkah laku hewan di lingkungan alam dan di lingkungan lain dimana hewan tersebut bisa hidup. Penggunaan ethologi untuk memprediksi gempa dan tsunami belum diterima secara luas oleh para peneliti. Sebagian menganggap tingkah laku hewan tidak memiliki hubungan dengan datangnya gempa dan tsunami, bahkan ada yang menganggap tingkah laku abnormal hewan sebelum tsunami hanyalah anekdot.

Meski demikian, setiap kejadian tsunami dan gempa dilaporkan selalu didahului atau diiringi oleh perilaku abnormal hewan. Situs berita Kompas.com pada Sabtu (12/3) memberitakan, bencana tsunami yang melanda Jepang dan perairan Samudera Pasifik ditengarai telah menyebabkan ikan bermigrasi sampai di Samudera Indonesia atau dikenal dengan Samudra Hindia. Sehari pascatsunami di Jepang, para nelayan pantai selatan Kulon Progo justru panen ikan. Beberapa nelayan yang melaut mendapatkan tangkapan yang cukup banyak.

Sekitar 80 persen gempa di Jepang memang terjadi di tengah lautan. Hal ini menyebabkan terjadinya perilaku abnormal pada ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan dingin yang dalam dapat tertangkap oleh nelayan di perairan yang dangkal dan hangat beberapa saat sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki sensitivitas tinggi terhadap variasi medan elektrik yang terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti ini memungkinkan beberapa hewan untuk dapat mendeteksi gas radon yang dikeluarkan dari tanah sebelum gempa.

Tingkah laku hewan sebelum terjadi gempa dan tsunami juga tercatat dalam beberapa bencana besar. Salah satunya ketika tsunami yang menghantam Aceh, Thailand, dan Srilangka pada 2004 silam. Kantor berita Reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Srilangka telah dipenuhi oleh mayat manusia, namun tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Taman Nasional Yala merupakan rumah bagi 200 ekor gajah asia, leopard, rusa, dan hewan liar lainnya.

Gelombang tsunami yang menerjang Srilangka sama sekali tidak membunuh hewan-hewan yang terdapat di daerah tersebut. Seorang staf di Taman Nasional Yala mengatakan bahwa tidak ada gajah yang mati, bahkan tidak ditemukan bangkai hewan kecil seperti kelinci sekalipun, hewan memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana.

Di pantai Khao Lak, Thailand, gajah-gajah tunggang yang sedang dinaiki turis terlihat gelisah dan berlarian ke arah bukit. Beberapa saat sebelum datangnya gelombang, gajah ini terus menerus bersuara dan gelisah (agitated). Mereka ini kembali tenang dan tidak bersuara setelah berada di bukit. Setelah itu, muncul gelombang tsunami yang menghantam pantai sejauh satu kilometer. Gajah-gajah yang ditunggangi turis itu pun selamat dan tidak tersentuh gelombang. Gajah ini telah menyelamatkan sejumlah turis asing dari gelombag tsunami.

Ensiklopedia bebas Wikipedia menjelaskan, istilah ethologi diturunkan dari bahasa Yunani. Pertama kali istilah ini diperkenalkan dalam bahasa Inggris William Morton Wheeler pada 1902. Ilmuwan lainnya, John Stuart Mill, menganjurkan ethologi agar dikembangkan menjadi cabang sains baru. Etologi dapat dibedakan dengan psikologi komparatif yang juga mempelajari perilaku hewan, namun menguraikan studinya sebagai cabang psikologi.

Hewan memiliki tingkah laku yang terlihat dan saling berkaitan secara individual maupun kolektif. Berbagai macam tingkah laku hewan merupakan cara bagi hewan tersebut untuk berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya. Tingkah laku yang dimiliki oleh berbagai macam hewan telah melahirkan bidang ilmu tersendiri bernama ethologi. Kepercayaan yang mengatakan bahwa hewan dapat merasakan gejala alam dan gempa telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Pada tahun 373 SM, sejarawan mencatat hewan seperti tikus, ular, dan musang telah meninggalkan kota Helis di Yunani beberapa hari sebelum terjadinya gempa yang menghancurkan kota tersebut.

Para ethologis mempelajari fisiologi perilaku dengan metode analisa dan morfologi perilaku dengan metode komparatif. Konrad Z. Lorenz dianggap sebagai Bapak Ethologi Modern. Lorenz merumuskan bahwa perilaku hewan, adaptasi fisiknya, merupakan bagian dari usahanya untuk hidup. Dalam ethologi diakui bahwa perilaku hewan timbul berdasarkan motivasi, hal ini menunjukan bahwa hewan mempunyai emosi. Ethologi erat kaitannya dengan bidang ilmu lain seperti geologi karena ada beberapa perilaku hewan yang dapat menunjukan akan terjadinya suatu gempa atau tsunami.

Meskipun demikian, beberapa ahli geologi di Amerika masih bersikap skeptis dalam melihat fenomena tingkah laku hewan sebelum terjadinya tsunami. Andi Michael, seorang ahli dari United States Geological Survey (USGS) menganggap bahwa tingkah laku abnormal hewan yang terlihat sebelum terjadinya tsunami ini hanyalah sebuah anekdot. USGS menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku hewan dengan terjadinya gempa. Pada tahun 1970-an, USGS pernah melakukan penelitian tentang prediksi gempa melalui pengamatan perilaku hewan, namun tidak ada hasil nyata dari penelitian.

David Jay Brown dalam artikelnya yang berjudul Etho-Geological Forecasting menulis, fenomena terjadinya perilaku yang tidak lazim pada hewan sebelum terjadinya gempa dapat dijelaskan dengan berbagai teori, di antaranya teori untrasound pergerakan bumi, teori gas sebelum gempa, dan teori medan magnet bumi. Sebagian besar hewan memiliki kapasitas pendengaran yang melebihi manusia, contohnya kucing dan anjing bisa mendengar getaran suara hingga 60.000 Hertz, sedangkan manusia hanya hingga 20.000 Hertz. Hewan dapat memberikan reaksi terhadap pancaran suara ultra (ultrasound) getaran microseisms dari patahan batuan.

Beberapa peneliti memperkirakan hewan-hewan dapat merespon gas radon atau gas lain yang dikeluarkan dari dalam bumi sebelum gempa. Diketahui pula bahwa dalam kondisi geologi tertentu, konsentrasi gas seperti metana di dalam tanah dapat berubah sedikit. Gas juga kadang-kadang dilepaskan dari tanah selama gempa bumi. Sebagian besar hewan memiliki indera penciuman yang tajam dibanding manusia terhadap beberapa jenis gas. Hewan-hewan sering dilaporkan bertingkah ketakutan sebelum letusan gunung berapi.

Hidung anjing sekitar satu juta kali lebih sensitif daripada manusia, dan beberapa serangga, seperti ngengat (silk moth) memiliki kemampuan luar biasa penginderaan luar biasa. Sebagai contoh, pada saat kawin, ngengat betina menghasilkan kurang dari sepersejuta gram molekul sex attractant yang disebarkan oleh angin, lalu sinyal ajakan kawin (mating signal) itu bisa ditangkap dengan antena sensitif ngegat jantan tujuh mil jauhnya. Sebuah molekul saja sudah cukup menarik ngengat jantan untuk mengejar betina.

Fluktuasi medan magnet bumi dapat menyebabkan perilaku abnormal pada hewan. Beberapa hewan memiliki sensitivitas terhadap variasi medan magnet bumi yang terjadi di dekat pusat gempa (epicenter). Perubahan medan magnet bumi dapat mempengaruhi proses migrasi burung-burung dan menganggu kemampuan navigasi ikan. Selain itu, ion-ion yang bermuatan dapat keluar sebelum terjadinya gempa, hal ini menyebabkan partikel ion yang bermuatan listrik dapat merubah pemancar gelombang syaraf (neurotransmitter) dalam otak hewan.

Dari beberapa teori itu menunjukkan bahwa sistem peringatan dini dengan menggunakan ethologi perlu dipertimbangkan meski memerlukan pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Cina telah menjadi pioner dengan mendirikan stasiun percobaan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi menggunakan observasi biologi di Provinsi Xingtai pada tahun 1968. Jika sistem ini telah teruji dan berkembang dengan baik, maka sistem ini dapat menghemat biaya dalam membeli berbagai instrumen dan peralatan untuk memprediksi gempa. Indonesia kaya akan fauna, sehingga bisa turut mengembangkan prediksi tsunami memakai ethologi ini.

09 January, 2011

Meramal Masa Depan APEC

Dalam beberapa pekan terakhir, Asia Timur menjadi pusat perhatian para ekonom, analis, dan para penentu kebijakan dari berbagai dunia. Alasannya, dua kota di kawasan ini menggelar hajatan pertemuan ekonomi besar dunia, yaitu Group of 20 (G20) di Seoul, Korea Selatan, dan Kerja Sama Ekonomi Negara-Negara Asia Pasifik (APEC) di Yokohama, Jepang.

Dua konferensi itu digelar dalam waktu yang hampir bersamaan. Konferensi APEC di Yokohama 13-14 November 2010 cukup mendapat perhatian dunia. Wajar, usia APEC sudah lebih dari dua dekade dan terus mengadakan pertemuan rutin. Asia Pasifik memang menjadi salah kutub perekonomian dunia, khususnya dalam lima tahun terakhir.

Distrik Minato Mirai di kota pelabuhan Yokohama yang bersuhu 16 derajat celcius menjadi lokasi pertemuan 21 kepala negara anggota APEC pada Sabtu (13/11), termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membahas perkembangan perekonomian dunia, salah satunya perdagangan bebas terbuka, topik yang selalu menjadi isu APEC sejak pertemuan di Bogor pada 1994 silam.

Pertemuan APEC 1994 di Bogor menghasilkan Bogor Goals yang isinya berupa komitmen untuk mencapai perdagangan dan investasi bebas terbuka pada 2010 bagi negara industri dan pada 2020 bagi negara berkembang. Bogor Goals menjadi manifestasi dari ambisi negara-negara APEC bahwa perdagangan bebas terbuka merupakan cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pada pertemuan APEC di Yokohama ini dilakukan assessment terhadap Bogor Goals oleh lima negara industri di APEC yang dikenal dengan 'The Five', yakni Australia, Kanada, Jepang, New Zealand, dan Amerika Serikat, serta beberapa perwakilan negara berkembang, menyatakan masih banyak yang harus dikerjakan terlebih dulu sebelum melaksanakan Bogor Goals yang di dalamnya menyepakati perdagangan bebas terbuka.

Beberapa media asing lebih ekstrim lagi menginterpretasikan kesepakatan itu. APEC dianggap gagal mewujudkan kawasan perdagangan bebas terbuka di Asia Pasifik. Padahal, rencana itu sudah disusun hampir dua dekade sebelumnya, namun kesepakatan perdagangan bebas terbuka itu malah dinyatakan sebagai rencana jangka panjang.

Dalam hasil pertemuan pemimpin negara-negara APEC terkait Bogor Goals Assessment pada Ahad (14/11) dijelaskan, upaya pencapaian Bogor Goals telah memperlihatkan hasil signifikan. Nilai perdagangan negara-negara APEC telah memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. APEC pun melansir angka untuk memperkuat klaimnya itu.

Dalam kurun 1994-2009, perdagangan negara-negara APEC dengan negara lain di dunia meningkat rata-rata 7,1 persen per tahun dengan capaian 11,4 triliun dolar AS pada 2009. Nilai perdagangan komersil di kawasan APEC juga meningkat rata-rata 7 persen, atau mencapai 4 triliun dolar AS pada 2009. Sedangkan, Inflows of foreign direct investment (FDI) di kawasan APEC meningkat 13 persen per tahun sejak 1994 and Outflows of foreign direct investment (ODI) 12,7 persen per tahun.

Presiden Tiongkok Hu Jintao seperti dikutip China Radio Internasional mengatakan Bogor Goals memiliki arti monumental bagi perkembangan APEC ke depan. Hu juga mengakui, "Tahun ini adalah batas waktu terakhir bagi anggota-anggota negara berkembang APEC untuk mewujudkan Bogor Goals," kata Hu dalam pertemuan puncak APEC, Ahad (15/11).

Namun, Hu menyadari bahwa proteksionisme telah meningkat di kawasan Asia Pasifik. Perekonomian global juga masih dibayangi ketimpangan (imbalances). Oleh karenanya, dalam pernyataan akhir para pemimpin negara APEC, konsep perdagangan bebas terbuka di Asia Pasifik bukan disebut sebagai hasil akhir, melainkan sebagai 'aspirasi yang perlu diterjemahkan lebih konkret lagi'.

Wajar jika Hu menganggap proteksionisme masih tinggi. Mudah diprediksi, pernyataan Hu itu mengarah kepada AS yang mengumumkan quantitative easing atau pengucuran dolar sebesar 600 miliar ke pasar. Dolar pun melemah, lantas membuat konsumsi produk dalam negeri AS meningkat. Ekspor AS lalu meningkat, ekonomi tumbuh, pengangguran di AS pun berkurang. Inilah proteksionisme.

Data perdagangan Departemen Keuangan AS menunjukkan, total ekspor AS pada Oktober 2010 mencapai 153,9 miliar dolar AS, jauh dari angka impor barang dan jasa yang mencapai 200,2 miliar dollar AS. Impor barang dan jasa dari Cina tumbuh 6,1 persen pada Agustus mencapai rekor sebesar 35,3 miliar dolar AS. Sementara, defisit perdagangan AS-Cina juga menyentuh angka baru sekitar 28 miliar dolar AS, ketika ekspor AS ke Cina stagnan di angka 7,3 miliar dolar AS.

Namun, APEC tetap menganggap ada progres signifikan dalam mencapai mimpi perdagangan bebas terbuka di Asia Pasifik. APEC melalui Trade Facilitation Action Plan (TFAP), mengklam berhasil menekan biaya perdagangan di Asia Pasifik sebesar 5 persen dari 2002 hingga 2006. Tambahan penurunan biaya 5 persen lagi melalui TFAP tahap dua bisa tercapai 2010 ini.

Jika target perdagangan bebas terbuka bagi negara industri APEC belum kunjung tercapai pada 2010 ini, bagaimana dengan perdagangan bebas terbuka bagi negara berkembang APEC pada 2020? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut hadir di pertemuan APEC 2010 di Yokohama ini masih optimis menjawab pertanyaan itu.

"Memang dari observasi kebersamaan kita dalam APEC ini hasilnya nyata, apakah itu peningkatan forum perdagangan, peningkatan volume perdagangan intra-APEC, kemudian penurunan tarif, peningkatan foreign direct investment, peningkatan services, itu nyata ada yang lima kali lipat, tiga kali lipat," kata Presiden selepas mengikuti pertemuan pertama APEC, Sabtu (13/11).

Presiden menegaskan, APEC masih tetap relevan di tengah banyaknya pertemuan-pertemuan ekonomi negara-negara di dunia, seperti G7 dan G20. Presiden beralasan, ketika Bogor Goals dirumuskan, perekonomian dunia masih dikendalikan oleh negara-negara maju. Dalam perjalanannya, terjadi krisis pada 1998 dan 2008, lalu muncullah emerging countries, seperti Brazil, Tiongkok, dan India.

Presiden memberi catatan, APEC bisa tetap relevan jika forum ini tidak hanya berhenti pada perdagangan dan investasi bebas terbuka saja. "Juga perlu pembangunan kapasitas, fasilitasi negara-negara berkembang harus diberikan agar juga bisa ikut tumbuh perekonomian negara berkembang itu dalam rangka APEC, kemudian juga ada isu lain, misalnya konektivitas, supaya lebih bagus logistik di kawasan ini," kata Presiden.

Ekonom senior The Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Pande Raja Silalahi, juga mengakui bahwa masih perlu banyak waktu bagi APEC dalam mewujudkan cita-citanya. "Perlu menyamakan persepsi dulu mengenai apa yang bisa dilakukan," kata Pande ketika dihubungi, Senin (15/11). Hal itu butuh waktu yang tidak lama.

"Setidaknya perlu 2-3 tahun bagi APEC," kata Pande. Meski demikian, Pande tetap berpendapat bahwa APEC masih tetap relevan di tengah banyaknya forum-forum ekonomi lain yang saat ini getol dilakukan oleh para pemimpin dunia. Menurut Pande, APEC datang lebih dulu dibanding G20, G7, dan forum-forum ekonomi lainnya. (photo courtesy: AP Photo)