25 March, 2011

Memprediksi Tsunami Menggunakan Ethologi

Gelombang air laut mahadahsyat menghantam wilayah timur laut Jepang pada Jumat (11/3). Gempa sebesar 8,9 Skala Richter memicu gelombang tsunami, membuat air laut seolah tumpah ke darat dan menyeret apa pun yang berada di hadapannya. Siaran stasiun televisi Jepang NHK memperlihatkan air laut menerjang segala yang ada di pelabuhan, lahan pertanian, jalan, hingga gedung-gedung di perkotaan. Tsunami itu menjadi salah satu bencana terdahsyat di Negeri Sakura.

Meski banyak versi tentang jumlah korban jiwa, namun media-media di Jepang menyebut korban jiwa bisa mencapai ribuan orang, belum termasuk korban yang masih tertimbun. Bantuan kemanusiaan dan regu penyelemat dari berbagai dunia, termasuk Indonesia, berduyun-duyun masuk ke Jepang. Bencana di Jepang ini membuat seluruh dunia ikut waspada. Setidaknya ada 20 negara yang memberlakukan ‘waspada tsunami’ di wilayahnya masing-masing. Beberapa jam setelah gempa di Jepang, tsunami juga ikut mampir di Papua, menyeret rumah-rumah nelayan.

Di tengah keprihatinan atas bencana yang merenggut korban nyawa dan materi yang amat banyak, muncul kekhawatiran lain. Gempa juga telah menyebabkan kebocoran atap bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang terletak tidak jauh dari Kota Sendai atau sekira 250 kilometer di utara Tokyo. Semua warga yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari PLTN langsung diungsikan untuk mencegah dampak radiasi. Kondisi itu membuat sejumlah pihak khawatir bencana radiasi nuklir di Chernobyl, Uni Sovyet, pada 1986 silam kembali terulang di Jepang.

Jepang dianggap sebagai satu-satunya negara yang memiliki mitigasi dan langkah antisipasi paling baik dalam menghadapi berbagai bencana. Jepang merupakan negara kepulauan yang berada dalam wilayah bencana. Kondisi itu membuat Jepang memiliki infrastruktur dan teknologi yang baik dalam mengadapi bencana, khususnya gempa. Hampir seluruh gedung di Jepang berteknologi tahan gempa, alat deteksi tsunami dan gempa ada di mana, dan tak terhitung lagi ilmuwan yang mempelajari gempa.

Kerusakan dan korban jiwa yang dialami Jepang akibat tsunami membuktikan bahwa kesiapan dalam menghadapi bencana sangat penting untuk dimiliki negara mana pun. Salah satu kunci untuk meningkatkan kesiapan dan mengurangi dampak kehancuran akibat tsunami adalah sistem peringatan dini (early warning system). Semakin cepat peringatan tsunami didapat, semakin minim jumlah korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan. Sistem peringatan dini sebagain besar menggunakan teknologi canggih yang berbiaya tinggi, ada salah satu bagian alatnya yang harus ditempatkan di dasar lautan.

Salah satu alternatif untuk memprediksi datangnya tsunami adalah ethologi, yakni ilmu yang mempelajari gerak-gerik atau tingkah laku hewan di lingkungan alam dan di lingkungan lain dimana hewan tersebut bisa hidup. Penggunaan ethologi untuk memprediksi gempa dan tsunami belum diterima secara luas oleh para peneliti. Sebagian menganggap tingkah laku hewan tidak memiliki hubungan dengan datangnya gempa dan tsunami, bahkan ada yang menganggap tingkah laku abnormal hewan sebelum tsunami hanyalah anekdot.

Meski demikian, setiap kejadian tsunami dan gempa dilaporkan selalu didahului atau diiringi oleh perilaku abnormal hewan. Situs berita Kompas.com pada Sabtu (12/3) memberitakan, bencana tsunami yang melanda Jepang dan perairan Samudera Pasifik ditengarai telah menyebabkan ikan bermigrasi sampai di Samudera Indonesia atau dikenal dengan Samudra Hindia. Sehari pascatsunami di Jepang, para nelayan pantai selatan Kulon Progo justru panen ikan. Beberapa nelayan yang melaut mendapatkan tangkapan yang cukup banyak.

Sekitar 80 persen gempa di Jepang memang terjadi di tengah lautan. Hal ini menyebabkan terjadinya perilaku abnormal pada ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan dingin yang dalam dapat tertangkap oleh nelayan di perairan yang dangkal dan hangat beberapa saat sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki sensitivitas tinggi terhadap variasi medan elektrik yang terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti ini memungkinkan beberapa hewan untuk dapat mendeteksi gas radon yang dikeluarkan dari tanah sebelum gempa.

Tingkah laku hewan sebelum terjadi gempa dan tsunami juga tercatat dalam beberapa bencana besar. Salah satunya ketika tsunami yang menghantam Aceh, Thailand, dan Srilangka pada 2004 silam. Kantor berita Reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Srilangka telah dipenuhi oleh mayat manusia, namun tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Taman Nasional Yala merupakan rumah bagi 200 ekor gajah asia, leopard, rusa, dan hewan liar lainnya.

Gelombang tsunami yang menerjang Srilangka sama sekali tidak membunuh hewan-hewan yang terdapat di daerah tersebut. Seorang staf di Taman Nasional Yala mengatakan bahwa tidak ada gajah yang mati, bahkan tidak ditemukan bangkai hewan kecil seperti kelinci sekalipun, hewan memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana.

Di pantai Khao Lak, Thailand, gajah-gajah tunggang yang sedang dinaiki turis terlihat gelisah dan berlarian ke arah bukit. Beberapa saat sebelum datangnya gelombang, gajah ini terus menerus bersuara dan gelisah (agitated). Mereka ini kembali tenang dan tidak bersuara setelah berada di bukit. Setelah itu, muncul gelombang tsunami yang menghantam pantai sejauh satu kilometer. Gajah-gajah yang ditunggangi turis itu pun selamat dan tidak tersentuh gelombang. Gajah ini telah menyelamatkan sejumlah turis asing dari gelombag tsunami.

Ensiklopedia bebas Wikipedia menjelaskan, istilah ethologi diturunkan dari bahasa Yunani. Pertama kali istilah ini diperkenalkan dalam bahasa Inggris William Morton Wheeler pada 1902. Ilmuwan lainnya, John Stuart Mill, menganjurkan ethologi agar dikembangkan menjadi cabang sains baru. Etologi dapat dibedakan dengan psikologi komparatif yang juga mempelajari perilaku hewan, namun menguraikan studinya sebagai cabang psikologi.

Hewan memiliki tingkah laku yang terlihat dan saling berkaitan secara individual maupun kolektif. Berbagai macam tingkah laku hewan merupakan cara bagi hewan tersebut untuk berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya. Tingkah laku yang dimiliki oleh berbagai macam hewan telah melahirkan bidang ilmu tersendiri bernama ethologi. Kepercayaan yang mengatakan bahwa hewan dapat merasakan gejala alam dan gempa telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Pada tahun 373 SM, sejarawan mencatat hewan seperti tikus, ular, dan musang telah meninggalkan kota Helis di Yunani beberapa hari sebelum terjadinya gempa yang menghancurkan kota tersebut.

Para ethologis mempelajari fisiologi perilaku dengan metode analisa dan morfologi perilaku dengan metode komparatif. Konrad Z. Lorenz dianggap sebagai Bapak Ethologi Modern. Lorenz merumuskan bahwa perilaku hewan, adaptasi fisiknya, merupakan bagian dari usahanya untuk hidup. Dalam ethologi diakui bahwa perilaku hewan timbul berdasarkan motivasi, hal ini menunjukan bahwa hewan mempunyai emosi. Ethologi erat kaitannya dengan bidang ilmu lain seperti geologi karena ada beberapa perilaku hewan yang dapat menunjukan akan terjadinya suatu gempa atau tsunami.

Meskipun demikian, beberapa ahli geologi di Amerika masih bersikap skeptis dalam melihat fenomena tingkah laku hewan sebelum terjadinya tsunami. Andi Michael, seorang ahli dari United States Geological Survey (USGS) menganggap bahwa tingkah laku abnormal hewan yang terlihat sebelum terjadinya tsunami ini hanyalah sebuah anekdot. USGS menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku hewan dengan terjadinya gempa. Pada tahun 1970-an, USGS pernah melakukan penelitian tentang prediksi gempa melalui pengamatan perilaku hewan, namun tidak ada hasil nyata dari penelitian.

David Jay Brown dalam artikelnya yang berjudul Etho-Geological Forecasting menulis, fenomena terjadinya perilaku yang tidak lazim pada hewan sebelum terjadinya gempa dapat dijelaskan dengan berbagai teori, di antaranya teori untrasound pergerakan bumi, teori gas sebelum gempa, dan teori medan magnet bumi. Sebagian besar hewan memiliki kapasitas pendengaran yang melebihi manusia, contohnya kucing dan anjing bisa mendengar getaran suara hingga 60.000 Hertz, sedangkan manusia hanya hingga 20.000 Hertz. Hewan dapat memberikan reaksi terhadap pancaran suara ultra (ultrasound) getaran microseisms dari patahan batuan.

Beberapa peneliti memperkirakan hewan-hewan dapat merespon gas radon atau gas lain yang dikeluarkan dari dalam bumi sebelum gempa. Diketahui pula bahwa dalam kondisi geologi tertentu, konsentrasi gas seperti metana di dalam tanah dapat berubah sedikit. Gas juga kadang-kadang dilepaskan dari tanah selama gempa bumi. Sebagian besar hewan memiliki indera penciuman yang tajam dibanding manusia terhadap beberapa jenis gas. Hewan-hewan sering dilaporkan bertingkah ketakutan sebelum letusan gunung berapi.

Hidung anjing sekitar satu juta kali lebih sensitif daripada manusia, dan beberapa serangga, seperti ngengat (silk moth) memiliki kemampuan luar biasa penginderaan luar biasa. Sebagai contoh, pada saat kawin, ngengat betina menghasilkan kurang dari sepersejuta gram molekul sex attractant yang disebarkan oleh angin, lalu sinyal ajakan kawin (mating signal) itu bisa ditangkap dengan antena sensitif ngegat jantan tujuh mil jauhnya. Sebuah molekul saja sudah cukup menarik ngengat jantan untuk mengejar betina.

Fluktuasi medan magnet bumi dapat menyebabkan perilaku abnormal pada hewan. Beberapa hewan memiliki sensitivitas terhadap variasi medan magnet bumi yang terjadi di dekat pusat gempa (epicenter). Perubahan medan magnet bumi dapat mempengaruhi proses migrasi burung-burung dan menganggu kemampuan navigasi ikan. Selain itu, ion-ion yang bermuatan dapat keluar sebelum terjadinya gempa, hal ini menyebabkan partikel ion yang bermuatan listrik dapat merubah pemancar gelombang syaraf (neurotransmitter) dalam otak hewan.

Dari beberapa teori itu menunjukkan bahwa sistem peringatan dini dengan menggunakan ethologi perlu dipertimbangkan meski memerlukan pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Cina telah menjadi pioner dengan mendirikan stasiun percobaan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi menggunakan observasi biologi di Provinsi Xingtai pada tahun 1968. Jika sistem ini telah teruji dan berkembang dengan baik, maka sistem ini dapat menghemat biaya dalam membeli berbagai instrumen dan peralatan untuk memprediksi gempa. Indonesia kaya akan fauna, sehingga bisa turut mengembangkan prediksi tsunami memakai ethologi ini.

1 komentar:

Anonymous said...

oS qrazy..
Ewerr

oDedsnt matter