29 August, 2012

Pohon Soekarno dan Gerakan Reboisasi


Soekarno mendapat kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji pada 1955. Seperti halnya jamaah yang lain, Soekarno pun melaksanakan berbagai tahapan ibadah haji di Tanah Suci. Tak ada keistimewaan yang didapat Soekarno meski menyandang status sebagai presiden dan tokoh paling berpengaruh di Gerakan Nonblok kala itu.

Soekarno juga ikut merasakan panasnya Padang Arafah ketika melaksanakan wukuf sebagai salah satu syarat sahnya ibadah haji. Panasnya Padang Arafah membuat Soekarno berpikir. Sebagai seorang insinyur, dia memutar otak untuk mencari jalan keluar agar jamaah haji tak terpanggang terik matahari ketika wukuf.

Seusai melaksanakan ibadah haji, Soekarno bertemu dengan pejabat Kerajaan Arab Saudi. Pada kesempatan inilah Soekarno menyampaikan gagasan-gagasannya tentang ibadah haji. Dia mengusulkan agar ada penghijauan di Padang Arafah. Soekarno meminta kerajaan agar mengubah padang tandus itu dengan pepohonan.

Soekarno tak memberi omong kosong. Setelah kembali ke Tanah Air, Soekarno mengirim pohon khas Indonesia yang tahan hidup di padang tandus, namanya pohon mindi, ada pula yang menyebutnya pohon imba. Gayung bersambut. Kerajaan Arab Saudi melakukan penghijauan di Padang Arafah sebagai penghargaan atas gagasan Soekarno.

Pemerintah Indonesia juga mengirimkan ahli tanaman ke Arab Saudi untuk me muluskan rencana itu. Kerajaan Arab Saudi juga tak main-main, mereka menyiapkan berbagai infrastruktur pendukung. Di dalam tanah tempat tumbuhnya pohon mindi ini tersimpan pipa sehingga setiap batang pohon bisa tersiram air.

Beberapa tahun kemudian, mimpi Soekarno terwujud. Padang Arafah perlahan mulai hijau. Saat ini, pohon-pohon itu masih tumbuh di Padang Arafah dan melindungi jutaan jamaah haji ketika wukuf. Jamaah haji bisa terkena denda atau dam jika mematahkan ranting pohon itu. Sebagai bentuk penghargaan, Kerajaan Arab Saudi menamai pohon tersebut dengan "Pohon Soekarno".

Soekarno juga menerapkan gagasangagasannya soal lingkungan di negeri sendiri. Banyak kebijakan pemerintah pada masa Presiden Soekarno yang bertujuan untuk melindungi lingkungan. Salah satunya pencanangan Pekan Penghijauan Nasional pada 17 Desember 1961 di Puncak, Bogor, Jawa Barat.

Inilah cikal bakal program reboisasi hutan dan penghijauan. Soekarno tak ingin hutanhutan yang ada di Indonesia menjadi padang tandus seperti di Arab Saudi. Sayangnya, setelah pucuk pimpinan negeri ini berganti, kebijakan Soekarno ini makin tak jelas. Justru, terjadi deforestasi besar-besaran. Pohon-pohon digergaji, tanah digali.

Bedasarkan data Bank Dunia, deforestasi setelah 1970-an mencapai 300 ribu hektare per tahun dan menjadi 600 ribu hektare per tahun pada 1981. Jumlah itu meningkat menjadi satu juta hektare per tahun pada 1990. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1990 menunjukkan, deforestasi selama 1980-1990 seluas 0,9- 1,3 juta hektare per tahun.

Bencana pun menyusul. Banjir bandang dan longsor beberapa kali terjadi di berbagai daerah. Beberapa di antaranya justru terjadi di daerah yang dikelilingi hutan. Penebangan pohon besar-besaran ternyata menuai bencana. Pemerintah mulai kalang kabut. Reboisasi yang dulu dicanangkan Soekarno kembali didengungkan, hanya istilahnya saja yang berubah jadi rehabilitasi lahan.

Namun, upaya itu belum terlihat membuahkan hasil. Awal Oktober 2010, banjir bandang melanda Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat. Korban tewas nyaris 100 orang dan puluhan orang hilang. Ratusan warga terpaksa harus tinggal di pengungsian karena tempat tinggalnya tersapu banjir.

Musibah banjir bandang terjadi di Kota Padang, Sumatra Barat, pada Selasa (24/7) sekitar pukul 18.30 WIB. Meski tidak ada korban tewas, delapan warga sempat hilang tersapu banjir bandang. Bukan hanya rumah warga yang rusak, tetapi beberapa jembatan di Padang juga rusak akibat tersapu banjir bandang.

Ironi. Itulah kata paling tepat yang bisa menggambarkan musibah banjir bandang di Indonesia. Bayangkan saja, Papua yang dulu lebat dengan pepohonan kini mulai menjadi lokasi banjir bandang. Padang juga dulu dikelilingi oleh pepohonan, namun kini tak berdaya menahan arus banjir yang datang seketika itu.

Kebijakan pemerintah tentang lingkungan belum terlihat hasilnya. Gerakan menanam pohon yang selama ini gencar digembargemborkan tak terasa dampaknya di daerah. Itu wajar saja karena penanaman pohon selama ini hanya menjadi kegiatan seremonial semata atau jadi salah satu kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan besar.

Percuma saja jika menanam pohon hanya di halaman kantor, lapangan parkir, di pinggir jalan protokol, dan di pekarangan sekolah. Daerah yang lebih membutuhkan pohon justru berada di lahan kritis yang ada di gunung-gunung yang dulunya menjadi rumah bagi berbagai jenis pohon.

Harapan itu tetap ada, apalagi kalau melihat dana yang diterima pemerintah untuk upaya penghijauan ini. Salah satunya kerja sama Norwegia dan Indonesia untuk mendukung upaya Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari penebangan dan degradasi hutan serta tanah gambut. Norwegia mendukung upaya ini melalui bantuan dana sampai dengan satu miliar dolar AS berdasarkan kinerja Indonesia.

Dana dari Norwegia ini datang tak lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2009 menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida Indonesia hingga 26 persen pada 2020. Komitmen ini merupakan komitmen terbesar yang pernah diutarakan oleh negara berkembang. Indonesia telah menetapkan target absolut dan Norwegia ingin membantu upaya Pemerintah Indonesia mencapai komitmen tersebut.

Indonesia kini juga terlibat dalam skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yakni mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit.

Jumlah kredit karbon dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Kredit yang dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutan. REDD menjadi bentuk insentif finansial untuk pelestarian hutan.

Indonesia kini terus berusaha menekan emisi karbon dan mencegah deforestasi. Angka deforestasi di negeri ini memang terus menurun, tapi entah kapan bisa berhenti. Jika dulu Soekarno sanggup menghijaukan padang tandus di Arab Saudi, kini Indonesia justru berjuang menanam kembali pohonpohon yang dulu ditebang.

Photo courtesy: Forest & Kim Starr

0 komentar: