Soekarno mendapat kesempatan
untuk melaksanakan ibadah haji pada 1955. Seperti halnya jamaah yang lain,
Soekarno pun melaksanakan berbagai tahapan ibadah haji di Tanah Suci. Tak ada
keistimewaan yang didapat Soekarno meski menyandang status sebagai presiden dan
tokoh paling berpengaruh di Gerakan Nonblok kala itu.
Soekarno juga ikut merasakan
panasnya Padang Arafah ketika melaksanakan wukuf sebagai salah satu syarat
sahnya ibadah haji. Panasnya Padang Arafah membuat Soekarno berpikir. Sebagai
seorang insinyur, dia memutar otak untuk mencari jalan keluar agar jamaah haji
tak terpanggang terik matahari ketika wukuf.
Seusai melaksanakan ibadah
haji, Soekarno bertemu dengan pejabat Kerajaan Arab Saudi. Pada kesempatan
inilah Soekarno menyampaikan gagasan-gagasannya tentang ibadah haji. Dia
mengusulkan agar ada penghijauan di Padang Arafah. Soekarno meminta kerajaan
agar mengubah padang tandus itu dengan pepohonan.
Soekarno tak memberi omong
kosong. Setelah kembali ke Tanah Air, Soekarno mengirim pohon khas Indonesia
yang tahan hidup di padang tandus, namanya pohon mindi, ada pula yang
menyebutnya pohon imba. Gayung bersambut. Kerajaan Arab Saudi melakukan
penghijauan di Padang Arafah sebagai penghargaan atas gagasan Soekarno.
Pemerintah Indonesia juga
mengirimkan ahli tanaman ke Arab Saudi untuk me muluskan rencana itu. Kerajaan
Arab Saudi juga tak main-main, mereka menyiapkan berbagai infrastruktur
pendukung. Di dalam tanah tempat tumbuhnya pohon mindi ini tersimpan pipa
sehingga setiap batang pohon bisa tersiram air.
Beberapa tahun kemudian,
mimpi Soekarno terwujud. Padang Arafah perlahan mulai hijau. Saat ini,
pohon-pohon itu masih tumbuh di Padang Arafah dan melindungi jutaan jamaah haji
ketika wukuf. Jamaah haji bisa terkena denda atau dam jika mematahkan ranting
pohon itu. Sebagai bentuk penghargaan, Kerajaan Arab Saudi menamai pohon
tersebut dengan "Pohon Soekarno".
Soekarno juga menerapkan
gagasangagasannya soal lingkungan di negeri sendiri. Banyak kebijakan
pemerintah pada masa Presiden Soekarno yang bertujuan untuk melindungi
lingkungan. Salah satunya pencanangan Pekan Penghijauan Nasional pada 17
Desember 1961 di Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Inilah cikal bakal program
reboisasi hutan dan penghijauan. Soekarno tak ingin hutanhutan yang ada di
Indonesia menjadi padang tandus seperti di Arab Saudi. Sayangnya, setelah pucuk
pimpinan negeri ini berganti, kebijakan Soekarno ini makin tak jelas. Justru,
terjadi deforestasi besar-besaran. Pohon-pohon digergaji, tanah digali.
Bedasarkan data Bank Dunia,
deforestasi setelah 1970-an mencapai 300 ribu hektare per tahun dan menjadi 600
ribu hektare per tahun pada 1981. Jumlah itu meningkat menjadi satu juta
hektare per tahun pada 1990. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada
1990 menunjukkan, deforestasi selama 1980-1990 seluas 0,9- 1,3 juta hektare per
tahun.
Bencana pun menyusul. Banjir
bandang dan longsor beberapa kali terjadi di berbagai daerah. Beberapa di
antaranya justru terjadi di daerah yang dikelilingi hutan. Penebangan pohon
besar-besaran ternyata menuai bencana. Pemerintah mulai kalang kabut. Reboisasi
yang dulu dicanangkan Soekarno kembali didengungkan, hanya istilahnya saja yang
berubah jadi rehabilitasi lahan.
Namun, upaya itu belum
terlihat membuahkan hasil. Awal Oktober 2010, banjir bandang melanda Wasior,
Teluk Wondama, Papua Barat. Korban tewas nyaris 100 orang dan puluhan orang
hilang. Ratusan warga terpaksa harus tinggal di pengungsian karena tempat
tinggalnya tersapu banjir.
Musibah banjir bandang
terjadi di Kota Padang, Sumatra Barat, pada Selasa (24/7) sekitar pukul 18.30
WIB. Meski tidak ada korban tewas, delapan warga sempat hilang tersapu banjir
bandang. Bukan hanya rumah warga yang rusak, tetapi beberapa jembatan di Padang
juga rusak akibat tersapu banjir bandang.
Ironi. Itulah kata paling
tepat yang bisa menggambarkan musibah banjir bandang di Indonesia. Bayangkan
saja, Papua yang dulu lebat dengan pepohonan kini mulai menjadi lokasi banjir
bandang. Padang juga dulu dikelilingi oleh pepohonan, namun kini tak berdaya
menahan arus banjir yang datang seketika itu.
Kebijakan pemerintah tentang
lingkungan belum terlihat hasilnya. Gerakan menanam pohon yang selama ini
gencar digembargemborkan tak terasa dampaknya di daerah. Itu wajar saja karena
penanaman pohon selama ini hanya menjadi kegiatan seremonial semata atau jadi
salah satu kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan
besar.
Percuma saja jika menanam
pohon hanya di halaman kantor, lapangan parkir, di pinggir jalan protokol, dan
di pekarangan sekolah. Daerah yang lebih membutuhkan pohon justru berada di
lahan kritis yang ada di gunung-gunung yang dulunya menjadi rumah bagi berbagai
jenis pohon.
Harapan itu tetap ada,
apalagi kalau melihat dana yang diterima pemerintah untuk upaya penghijauan
ini. Salah satunya kerja sama Norwegia dan Indonesia untuk mendukung upaya
Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari penebangan dan degradasi hutan
serta tanah gambut. Norwegia mendukung upaya ini melalui bantuan dana sampai
dengan satu miliar dolar AS berdasarkan kinerja Indonesia.
Dana dari Norwegia ini
datang tak lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2009
menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida Indonesia hingga 26
persen pada 2020. Komitmen ini merupakan komitmen terbesar yang pernah
diutarakan oleh negara berkembang. Indonesia telah menetapkan target absolut
dan Norwegia ingin membantu upaya Pemerintah Indonesia mencapai komitmen
tersebut.
Indonesia kini juga terlibat
dalam skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD), yakni mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara
memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi
dan degradasi hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari
diperhitungkan sebagai kredit.
Jumlah kredit karbon dalam
waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Kredit yang dapat diserahkan ke
lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi
negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutan. REDD menjadi bentuk
insentif finansial untuk pelestarian hutan.
Indonesia kini terus berusaha menekan emisi karbon dan mencegah
deforestasi. Angka deforestasi di negeri ini memang terus menurun, tapi entah
kapan bisa berhenti. Jika dulu Soekarno sanggup menghijaukan padang tandus di
Arab Saudi, kini Indonesia justru berjuang menanam kembali pohonpohon yang dulu
ditebang.
Photo courtesy: Forest & Kim Starr
Photo courtesy: Forest & Kim Starr
0 komentar:
Post a Comment