Meramal Masa Depan APEC

Kondisi perekonomian global yang dinamis menuntut APEC memperkuat kerja sama ekonomi anggotanya.

Indonesia Inc

Presiden harus menjadi Chief of Business Development (CBD).

Warisan Utang

Utang memang sudah ada sejak negara ini berdiri. Utang ini terus menyertai sejarah perjalanan Indonesia.

18 December, 2008

Tidak ada Preman, Kucing pun Jadi

Dalam beberapa pekan terakhir, mobilitas preman-preman yang ada di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia mulai terbatas. Mereka menjadi sasaran penangkapan polisi dan petugas tramtib di masing-masing kota. Petugas terus menyusuri setiap tempat untuk mengamankan para penyandang penyakit masyarakat itu.

Berbeda dengan wilayah lain, Pemprov DKI Jakarta kini mengemban tugas tambahan untuk melakukan razia serupa terhadap anjing dan kucing. Razia pun akan digelar di setiap sudut kota untuk menangkapi dua binatang itu. Petugas dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan dibantu oleh petugas Dinas Tramtib Linmas sudah siap terjun ke lapangan.

Seperti halnya razia preman, razia kucing dan anjing ini juga dilakukan untuk melindungi masyarakat dari penyakit. Bukan penyakit masyarakat (pekat), melainkan penyakit rabies. "Razia itu dilakukan untuk mencegah penularan rabies kepada manusia," kata Kepala Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Jakarta, Edy Setiarto, belum lama ini.

Pria bergelar dokter hewan itu menambahkan, keberadaan kucing dan anjing liar yang 'beroperasi' di setiap sudut kota sangat berbahaya. "Saya perkirakan ada 200.000 kucing dan anjing yang hidup secara liar," katanya. Dari jumlah tersebut, lanjutnya, dikhawatirkan ada yang menderita rabies dan menularkannya kepada manusia.

Edy memiliki alasan cukup kuat untuk melakukan razia kucing dan anjing ini. "Rabies bisa menyebabkan kematian pada manusia," katanya. Bahkan, kata Edy, proses kematian itu akan berjalan pelan-pelan, sehingga manusia akan sangat menderita. Penularan rabies bisa dicegah dengan pemberantasan hewan penular rabies.

Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan menetapkan rabies sebagai penyakit yang perlu mendapat perhatian di samping flu burung, antraks, dan leptospirosis. "Selama beberapa tahun terakhir ini, belum ada catatan mengenai jumlah warga Jakarta yang tertular rabies," kata Edy. Kondisi itu harus dipertahankan dengan melakukan razia terhadap kucing dan anjing.

"Kami akan mulai dengan razia di gedung-gedung milik Pemprov," kata Edy. Di balik kemegahan dan tingginya gedung Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, ternyata masih dihantui oleh peredaran kucing dan anjing liar. Mereka berpotensi untuk menyebarkan penyakit rabies kepada para Abdi Bangsa yang sehari-hari bekerja di gedung itu.

Berdasarkan pantauan Republlika, kompleks Gedung Balai Kota memang sering dihiasi oleh kucing-kucing yang berlalulalang. Mereka berjalan-jalan dengan damai meski berada di antara puluhan manusia. Ironisnya, para pegawai tidak menyadari keberadaan kucing-kucing itu, bahkan mungkin tidak tahu akan bahaya rabies yang dibawa hewan tersebut.

Di balik wajah manisnya, kucing berpotensi membawa penyakit rabies. Penyakit tersebut tergolong penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia (zoonosis). "Hewan menderita rabies cenderung memiliki keinginan untuk menggigit," kata Edy. Manusia yang tergigit akan menunjukkan gejala takut melihat cahaya, menggigil, demam tinggi, dan akhirnya meninggal.

"Rencananya, dalam beberapa bulan ke depan akan dilakukan razia di gedung-gedung Pemprov," kata Edy. Razia itu, lanjut Edy, akan diawasi oleh lembaga internasional untuk memastikan hak-hak hewan yang dimiliki kucing dan anjing tidak dilanggar. Lembaga itu akan mengawasi petugas dari lapangan hingga tempat penampungan.

Kepala Dinas Tramtib Linmas DKI Jakarta, Haryanto Bajuri, mengaku siap jika personelnya dibutuhkan untuk membantu petugas Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan dalam melakukan razia hewan berpotensi rabies. "Kita akan bantu seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Haryanto. Satu kompi personel Tramtib Linmas siap turun ke lapangan.

Kini, mereka akan menghadapi tugas baru setelah merazia preman. Meski sasarannya kucing dan anjing, personel Tramtib Linmas tetap perlu berhati-hati dan memiliki kewaspadaan. Pasalnya, jika mereka tergigit oleh kucing dan anjing penderita rabies, maka mereka akan ikut tertular. "Tapi, pada intinya petugas kita siap," kata Haryanto mantap.

"Tidak semua kucing yang terkena razia itu menderita rabies," kata Edy melanjutkan. Petugas akan memilah kucing yang menderita rabies, kucing perlu mendapat pengobatan, dan kucing sehat. Kucing dan anjing akan dibawa ke tempat penampungan di Ragunan, Jakarta Selatan. Kucing yang perlu mendapat perawatan akan menjalani 'rawat inap' di tempat itu.

Uniknya, kucing yang sehat atau yang sudah menjalani perawatan akan diserahkan kepada masyarakat. "Masyarakat bisa mengadopsi kucing dan anjing itu," ujar Edy. Dia tidak memungkiri jika di antara kucing dan anjing yang terkena razia itu ada yang 'berpenampilan' bagus dan diminati masyarakat. Teknis adopsi itu, lanjut Edy, bisa diketahui dengan menghubungi tempat penampungan di Ragunan.

"Adopsi dilakukan agar kucing dan anjing yang terkena razia tidak kembali hidup liar," kata Edy. Jika ada masyarakat yang mengadopsi, hewan-hewan itu bisa dirawat dan menerima vaksin rabies secara teratur. Sehingga, Pemprov pun akan terbantu untuk mengurangi jumlah kucing dan anjing liar yang jumlahnya mencapai 200.000 itu. Siapa berminat? n ikh

Mengail Listrik dari Lautan Sampah

Bermula dari sebuah kawasan sejuk yang dikelilingi pegunungan di wilayah Kerajaan Inggris. Di tempat itu terdapat area bernama Camden, sebuah kota otonom yang masuk wilayah London. Pada pertengahan Mei 2004, pemerintah kota Camden melakukan perjanjian kerja sama dengan dua perusahaan pengolahan energi.

Kerja sama tersebut bertujuan untuk mewujudkan mimpi yang ketika itu tampaknya sulit menjadi kenyataan. Listrik yang telah dikenal manusia sejak 120 tahun lalu mulai memasuki babak baru di Camden. Kota yang dipimpin seorang konselor bernama Nurul Islam ini tidak lagi menggunakan listrik yang berasal dari turbin, dinamo, atau baling-baling yang digerakkan oleh angin.

Sebanyak 2.500 keluarga di Camden mulai menikmati listrik yang bersumber dari sampah. Bagi penduduk di belahan dunia lain, sampah mungkin menjadi benda yang paling menjijikan. Hal itu tidak berlaku bagi penduduk Camden. Listrik yang digunakan di tempat-tempat publik di kota itu juga bersumber dari energi yang terbarukan.

Empat tahun kemudian, beberapa kota di Inggris mengikuti fenomena yang terjadi di Camden. Warga kota Devon mulai mengumpulkan sampah rumah tangga untuk diubah menjadi listrik. Sebanyak 12.000 keluarga yang ada di kota itu diperkirakan menghasilkan satu juta kilo sampah per tahun. Pemerintah setempat berhasil mengubah sampah menjadi energi listrik.

Dari dua kota kecil di Inggris itulah muncul istilah listrik hijau (green electricity). Tanpa menunggu waktu lama, istilah itu hinggap di telinga para pejabat Pemprov DKI Jakarta. Listrik hijau menjadi harapan baru bagi penyelesaian masalah sampah yang melanda Ibu Kota. Selama ini, sampah dianggap sebagai biang keladi masalah perkotaan yang melanda kota-kota besar di Indonesia.

"Paradigma tentang sampah harus diubah," kata Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, di Balai Kota, Jumat (31/10) lalu. Dia menginginkan, sampah yang selama ini dianggap sebagai limbah kotor harus mulai dipandang sebagai sumber energi yang bermanfaat. Selain dapat menghasilkan energi, pengolahan sampah juga bermanfaat bagi lingkungan.

Niat sang gubernur nampaknya tidak main-main. Pada awal 2008, dia menugaskan jajarannya untuk mengundang perusahaan-perusahaan yang mampu mengolah sampah menjadi energi. Perusahaan tersebut harus merupakan perusahaan dalam negeri yang berkonsorsium dengan perusahaan asing, sehingga teknologi pengolahan sampah di luar negeri bisa diadopsi di Ibu Kota.

Langkah yang diambil Pemprov DKI Jakarta itu sebenarnya masih kalah cepat oleh Pemkot Denpasar, Bali. Sejak akhir 2005 lalu, Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST) di kawasan Suwung, Denpasar dibangun menjadi lokasi pengolahan sampah. Proyek bernilai 20 juta dolar AS itu diharapkan mampu memasok 9,6 Megawatt (MW) dari 800 ton sampah per hari pada tahun 2009-2010.

Jakarta tidak ingin kalah oleh Camden dan Devon. Lelang pengelolaan sampah pun dibuka. Pemenang lelang akan mengelola sampah Jakarta yang berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi. Selama ini, TPA Bantargebang selalu menjadi biang masalah antara Pemprov DKI Jakarta, Pemkot Bekasi, warga di sekitar TPA, dan kalangan LSM.

Setelah membuka lelang, Pemprov DKI Jakarta mengundang lima perusahaan pengolahan sampah untuk melakukan paparan. "Nilai kontraknya Rp 800 miliar dengan lama 15 tahun," kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bharuna Subroto, di Balai Kota, Jumat (31/10). Dari lima perusahaan yang melakukan paparan, lanjutnya, kami memilih tiga perusahaan.

Ketiga perusahaan yang dipilih itu adalah PT Godang Tua Jaya, PT Total Strategic Investment, dan PT Patriot Bangkit Bekasi. PT Godang Tua Jaya bekerja sama dengan tiga perusahaan asing, yaitu Navigate Organic Energy, Syndicatun Carbon Capital, dan Organic International Ltd. PT Total Strategic Investment bekerja sama dengan Ramky International dari India. Sedangkan, PT Patriot Bangkit Bekasi menggandeng Sembawang Corp dari Singapura.

Tim lelang memaparkan profil ketiga perusahaan itu dihadapan gubernur yang akan langsung menentukan pemenang lelang. PT Godang Tua Jaya sudah disebut-sebut sebagai pemenang lelang karena memiliki kualifikasi terbaik. Dia menggandeng perusahaan yang juga melakukan proyek pengolahan sampah di Denpasar, yaitu Navigate Organic Energy asal Inggris.

Eko melanjutkan, pengolahan sampah menjadi energi sudah menjadi sebuah kebutuhan. TPA Bantargebang sudah tidak bisa lagi menampung sampah asal Jakarta. "Dalam satu hari, Jakarta menghasilkan 6.000 ton sampah," ujar Eko. Namun, lanjutnya, sampah yang tertampung TPA Bantargebang hanya 5.00 ton saja, sisanya masih berceceran di jalan.

Eko optimis pengerjaan proyek pengelahan sampah di TPA Bantargebang bisa segera dimulai bulan depan. "Desember 2008 atau paling lambat Januari 2009 bisa dilakukan pembuatan tiang pancang pembangunan instalasi pengolahan limbah di Bantargebang," katanya sambil tersenyum. Jika sudah beroperasi, instalasi itu bisa mengolah 4.000 ton sampah per hari menjadi listrik sebesar 35 MW.

"Pemprov DKI Jakarta akan membayar Rp 103 ribu untuk setiap ton sampah yang masuk ke TPA Bantargebang," kata Eko. Biaya itu dinamakan tipping fee, yaitu biaya pengolahan sampah menjadi energi yang dibayarkan pada perusahaan pemenang lelang nanti. Sebelum sampah diolah oleh perusahaan, Pemprov DKI Jakarta membayar tipping fee kepada Pemkot Bekasi sebesar Rp 53 ribu per ton.

Fenomena yang terjadi di Camden dan Devon pun sudah berada di depan mata. Namun, Eko belum belum bisa memastikan listrik yang nantinya dihasilkan dari TPA Bantargebang itu bisa langsung dinikmati masyarakat umum. "Kita akan salurkan kepada industri yang ada di Bekasi terlebih dahulu," ujar Eko yakin. Sebab, industri di Bekasi membutuhkan daya listrik yang besar.

Direktur Utama PT Godang Tua Jaya, Rekson Sitorus, bersedia membuka sedikit rahasia tentang pengolahan sampah yang akan dilakukan perusahannya jika sudah ditunjuk sebagai pemenang lelang nanti. "Kami melakukan pengolahan dengan empat cara," kata Rekson. Keempat cara itu adalah pyrolisis, pemilihan sampah, pembuatan kompos, dan pembuatan biogas sebagai penghasil listrik.

Rekson membenarkan bahwa pihaknya menggandeng perusahaan asal Inggris bernama Navigate Organic Energy. Inggris memang sudah menjadi pionir dalam produksi listrik hijau. "Teknologi yang ada di sana kita harapkan bisa diadopsi di sini," kata Rekson penuh harap. Dia berharap bisa segera menandatangani kontrak agar proyek segera terlaksana.

Terkait dengan pendistribusian listrik dari pengolahan sampah, Rekson menjelaskan, hal itu merupakan kewenangan PLN. "Kita hanya memproduksi listrik saja, sedangkan pendistribusiannya menjadi wewenang PLN," katanya. Dia mengaku belum tahu konsumen yang kelak akan menikmati listrik dari sampah itu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, garis besar pengolahan sampah menjadi listrik dimulai dengan pemasangan pipa ke dalam tumpukan sampah untuk menangkap gas metana, yaitu gas yang dihasilkan dari proses kimia dekomposisi sampah. Metana kemudian diolah menjadi biogas dengan fungsi mirip gas elpiji yang digunakan masyarakat.

Sampah yang diolah tersebut harus mengalami pemilahan terlebih dahulu dengan memisahkan sampah organik dan anorganik. Kemudian, sampah menjalani proses pyrolisis dengan pemanasan tingkat tinggi. Proses tersebut akan menghasilkan gas sintetik. Gas inilah yang kemudian dikonversi menjadi energi listrik.

Pelaksanaan pengolahan sampah menjadi listrik di Jakarta menarik perhatian sejumlah LSM. Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Selamet Daroyni, memberikan apresiasi yang tinggi terhadap terobosan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. "Meski demikian, harus ada keterbukaan atas pelaksanaan proyek tersebut agar masyarakat mendapat informasi yang benar," katanya tegas.

Selama ini, lanjut Selamet, Pemprov DKI Jakarta tidak pernah terbuka terhadap teknologi yang akan dilakukan dalam pengolahan sampah menjadi listrik itu. "Jangan sampai nanti proyek ini batal karena ada ketidaksesuaian dalam hal-hal teknis," kata pria kurus ini. Hal itu pernah terjadi pada 1990-an ketika Pemprov DKI Jakarta menggembar-gemborkan akan membangun sanitary landfill di Bantargebang yang akhirnya batal.

"Pengolahan sampah menjadi energi memang sudah waktunya diterapkan di Jakarta," ujar Selamet. Selain perlu adanya keterbukaan dalam proyek itu, dia berharap Pemprov DKI Jakarta bisa konsisten dalam melakukan pengolahan sampah ini. Artinya, pengolahan sampah jangan sampai berhenti di tengah jalan, namun harus berkesinambungan.

Jika di Camden bisa, mengapa di Jakarta tidak? n ikh

Bangun Pagi Hindari Kemacetan

Muhammad Arief langsung terperanjat ketika mengetahui rencana Pemprov DKI Jakarta memajukan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB. Pelajar berusia 17 tahun itu membayangkan dirinya harus bangun dan beraktivitas lebih pagi lagi. Dia harus rela berbagi jalan raya dengan pengguna jalan lain, seperti karyawan dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"Kalau untuk menghindari macet, kenapa harus pelajar yang jam masuknya dimajukan," tanya siswa kelas III SMK Pelayaran Jakarta Raya ini. Dia mengaku keberatan jika jam masuk sekolah dimajukan jadi pukul 06.30 WIB. Pasalnya, kemacetan tetap saja tidak bisa dihindari meski pergi dari rumah sepagi mungkin.

Arief, begitu dia disapa, membutuhkan waktu tempuh kurang lebih satu jam dari rumahnya di JL RS Ancol Selatan, Sunter ke kawasan Pedongkelan tempat sekolahnya berada. "Saya pergi ke sekolah menggunakan kendaraan umum dan biasanya terjebak macet di Jl Yos Sudarso ke arah Kelapa Gading," katanya, kemarin (Ahad, 23/11). Kemacetan di jalan itu, kata Arief, tidak mengenal waktu.

Keluhan Arief itu bermula dari rencana Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, untuk mengurangi kemacetan tanpa melakukan pengubahan pada pola transformasi yang sudah ada. "Ini merupakan jalan keluar untuk mengurai kemacetan secara non-transportasi," kata Prijanto, di Balai Kota, akhir pekan lalu. Dengan kata lain, kendaraan diupayakan agar tidak menggunakan jalan secara bersamaan.

Prijanto memastikan bahwa rencana itu tidak muncul begitu saja. Namun, sebelumnya sudah didahului oleh berbagai kajian untuk menemukan solusi terbaik. Pemprov DKI Jakarta telah menggandeng PT Pamintori, perusahaan survey yang menganalisis jumlah perjalanan di sejumlah jalan raya. Hasilnya, anak sekolah dan karyawan swasta mendominasi jumlah perjalanan setiap hari.

"Pelajar sekolah negeri dan swasta mundur 30 menit menjadi pukul 06.30 WIB dari sebelumnya pukul 07.00 WIB," ujar Prijanto. Sedangkan, jam masuk kerja karyawan disesuaikan dengan lokasi perusahaan masing-masing. Aturan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2009 dengan Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai payung hukumnya, namun aturan untuk perusahaan swasta masih berupa imbauan.

"Pengaturan jam masuk sekolah bisa mengurangi kemacetan hingga 6-14 persen," kata Prijanto menegaskan. Selama 2008 tercatat ada 20,7 juta perjalanan (trip) kendaraan per hari. Dari jumlah tersebut, 57 persen menggunakan motor dan mobil (motorize), 40 persen non-motorize, dan tiga persen kereta. Jumlah perjalanan itu akan terurai dengan pengaturan pemakaian jalan

Berdasarkan elemen pengguna, perjalanan kendaraan per hari didominasi oleh karyawan dan pelajar dengan jumlah masing-masing 5,6 juta perjalanan per hari atau 32 persen dan 5,3 juta perjalanan per hari atau 30 persen. Selanjutnya, perjalanan berbelanja sebanyak 2,1 juta per hari atau 12 persen, bisnis sebanyak 1,4 juta atau delapan persen, dan sisanya perjalanan pribadi (private) sebanyak 3,1 juta atau delapan belas persen .

Sedangkan, jika dilihat dari satuan kendaraan, pekerja dan pelajar juga tetap mendominasi. Pekerja mencapai 48 persen, pelajar 14 persen, belanja 12 persen, bisnis delapan persen, dan perjalanan pribadi 18 persen. "Oleh karenanya, pengaturan pemakaian jalan diberlakukan pada karyawan dan pelajar," ujar Prijanto sambil tersenyum.

Terkait dengan jam masuk karyawan, Prijanto menambahkan, perkantoran yang ada di Jakarta Utara dan Pusat diimbau untuk memberlakukan jam masuk kerja pukul 07.30 WIB, sedangkan Jakarta Barat dan Timur pukul 08.00 WIB. "Wilayah Jakarta Selatan terdapat perkantoran dengan jumlah terbanyak, sehingga diimbau masuk kerja pukul 09.00 WIB," kata mantan asisten teritorial Kodam Jaya ini.

Mengenai payung hukum pengaturan jam masuk karyawan, Prijanto menjelaskan, Pemprov hanya bisa memberikan surat imbauan saja. "Keputusannya tetap menjadi kebijakan perusahaan masing-masing," ujarnya dengan logat Jawa yang khas. Namun, lanjut Prijanto, perusahaan tersebut tetap diharuskan untuk melakukan koordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta.

Dedy Arief, juru bicara PT Pamintori, mengatakan, survey yang dilakukan cukup akurat dengan margin error di bawah sepuluh persen. "Survey dilakukan per wilayah, tidak per orang," katanya memaparkan. Beberapa lokasi jalan yang dijadikan objek survey antara lain Kawasan Bisnis Sudirman (SCBD), Jl S Parman, Jl Ahmad Yani, Jl Gatot Subroto, dan tol-tol dalam kota.

Kepala UPT Bus Sekolah, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Sihol Sijabat, mengatakan, pengaturan jam masuk pelajar juga akan berdampak pada waktu pengoperasian bus sekolah. "Jadwalnya tentu akan kami sesuaikan," katanya. Bus sekolah diupayakan mampu membawa pelajar dalam jumlah maksimal meski ada pengubahan jam masuk sekolah.

Tampaknya, Pemprov DKI Jakarta sudah kehabisan akal dalam mengurangi kemacetan. Selama ini, berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kemacetan sudah pernah dilakukan. Penerapan pola tiga penumpang dalam satu kendaraan (3 in 1) sudah dari dulu berlaku. Beberapa tahun berikutnya, Pemprov membangun moda transportasi massal berupa busway. Namun, tidak satu pun yang bisa mengurangi kemacetan.

Kondisi lalu lintas Jakarta diperparah oleh pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak terkendali. Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta pada 2007 mencapai 5,7 juta unit. Padahal, dua tahun sebelumnya hanya 4,9 juta unit. Artinya, kenaikan jumlah kendaraan mencapai delapan persen per tahun.

Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya lebih fantastis lagi. Jumlah kendaraan di Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang mencapai 9,5 juta unit pada 2008 ini. Dua juta unit di antaranya adalah mobil pribadi. Jumlah tersebut meningkat hampir dua juta unit dibanding jumlah kendaraan pada 2006 yang mencapai 7,9 juta unit. Persentasi kenaikannya lebih dari sepuluh persen per tahun.

Jumlah kendaraan pribadi mencapai 98 persen dari total kendaraan di Jakarta. Jalanan pun menjadi daerah okupasi kendaraan pribadi. Panjang jalan di Jakarta mencapai 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi atau 6,2 persen dari luas wilayah Jakarta. Pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan luas jalan yang hanya 0,01 persen per tahun.

Azas Tigor Nainggolan, aktivis Koalisi Warga untuk Transportasi (Kawat) Jakarta, kerugian materil akibat kemacetan mencapai Rp 3-4 triliun setiap tahun. Mengutip data sejumlah hasil penelitian, Tigor menyebutkan bahwa kerugian non-materil justru lebih tinggi. Kerugian Rp 3-4 triliun itu, ujar Tigor, berasal dari Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terbuang sia-sia di tengah kemacetan.

Terkait dengan pengaturan jam masuk pelajar untuk mengurangi kemacetan, Tigor mengatakan, kebijakan tersebut sama sekali tidak tepat. "Solusi mengurangi kemacetan adalah dengan melakukan pembatasan terhadap pemakaian kendaraan pribadi," kata pria berkepala plontos ini. Pasalnya, kendaraan pribadi mendominasi jumlah kendaraan di jalanan.

Selain membatasi kendaraan pribadi, fasilitas kendaraan umum juga perlu diperbaiki agar masyarakat tertarik untuk menggunakannya. "Pemprov jangan melakukan intervensi terhadap jam masuk sekolah," ujar Tigor bernada tegas. Hal itu menunjukkan bahwa Pemprov tidak ada kerjaan dan kehabisan akal dalam mengurai kemacetan. Tigor menambahkan, kebijakan dalam mengurai kemacetan harus disusun secermat mungkin.

Kepala Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta, Sukesti Martono, enggan berkomentar banyak mengenai jam masuk sekolah yang dimundurkan itu. "Pergub tentang pengaturan jam masuk sekolah itu belum terbit," kata Sukesti dalam pesan singkatnya kepada Republika, kemarin (Ahad, 23/11). Dia menambahkan, kebijakan itu merupakan rekomendasi Dishub DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan pada jam sibuk.

Nada keberatan juga keluar dari mulut Sahala Aritonang, Ketua Forum Serikat Buruh Pendidikan, Pelatihan, dan Pegawai Negeri (Fesdikari) Jakarta. "Sebagai guru kami siap kapan saja datang ke sekolah, namun kebijakan itu tidak bisa mengatasi kemacetan," katanya. Justru, kata Sahala, hal itu akan memberatkan bagi siswa.

Sahala menambahkan, selama ini banyak siswa yang pergi ke sekolah dengan diantar oleh orangtuanya yang hendak pergi ke tempat kerja. "Orangtua dan anaknya tidak bisa lagi pergi bersamaan jika jam masuk sekolah dimajukan," katanya. Sehingga, orangtua perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk ongkos anaknya pergi sekolah. n ikh