18 December, 2008

Bangun Pagi Hindari Kemacetan

Muhammad Arief langsung terperanjat ketika mengetahui rencana Pemprov DKI Jakarta memajukan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB. Pelajar berusia 17 tahun itu membayangkan dirinya harus bangun dan beraktivitas lebih pagi lagi. Dia harus rela berbagi jalan raya dengan pengguna jalan lain, seperti karyawan dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"Kalau untuk menghindari macet, kenapa harus pelajar yang jam masuknya dimajukan," tanya siswa kelas III SMK Pelayaran Jakarta Raya ini. Dia mengaku keberatan jika jam masuk sekolah dimajukan jadi pukul 06.30 WIB. Pasalnya, kemacetan tetap saja tidak bisa dihindari meski pergi dari rumah sepagi mungkin.

Arief, begitu dia disapa, membutuhkan waktu tempuh kurang lebih satu jam dari rumahnya di JL RS Ancol Selatan, Sunter ke kawasan Pedongkelan tempat sekolahnya berada. "Saya pergi ke sekolah menggunakan kendaraan umum dan biasanya terjebak macet di Jl Yos Sudarso ke arah Kelapa Gading," katanya, kemarin (Ahad, 23/11). Kemacetan di jalan itu, kata Arief, tidak mengenal waktu.

Keluhan Arief itu bermula dari rencana Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, untuk mengurangi kemacetan tanpa melakukan pengubahan pada pola transformasi yang sudah ada. "Ini merupakan jalan keluar untuk mengurai kemacetan secara non-transportasi," kata Prijanto, di Balai Kota, akhir pekan lalu. Dengan kata lain, kendaraan diupayakan agar tidak menggunakan jalan secara bersamaan.

Prijanto memastikan bahwa rencana itu tidak muncul begitu saja. Namun, sebelumnya sudah didahului oleh berbagai kajian untuk menemukan solusi terbaik. Pemprov DKI Jakarta telah menggandeng PT Pamintori, perusahaan survey yang menganalisis jumlah perjalanan di sejumlah jalan raya. Hasilnya, anak sekolah dan karyawan swasta mendominasi jumlah perjalanan setiap hari.

"Pelajar sekolah negeri dan swasta mundur 30 menit menjadi pukul 06.30 WIB dari sebelumnya pukul 07.00 WIB," ujar Prijanto. Sedangkan, jam masuk kerja karyawan disesuaikan dengan lokasi perusahaan masing-masing. Aturan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2009 dengan Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai payung hukumnya, namun aturan untuk perusahaan swasta masih berupa imbauan.

"Pengaturan jam masuk sekolah bisa mengurangi kemacetan hingga 6-14 persen," kata Prijanto menegaskan. Selama 2008 tercatat ada 20,7 juta perjalanan (trip) kendaraan per hari. Dari jumlah tersebut, 57 persen menggunakan motor dan mobil (motorize), 40 persen non-motorize, dan tiga persen kereta. Jumlah perjalanan itu akan terurai dengan pengaturan pemakaian jalan

Berdasarkan elemen pengguna, perjalanan kendaraan per hari didominasi oleh karyawan dan pelajar dengan jumlah masing-masing 5,6 juta perjalanan per hari atau 32 persen dan 5,3 juta perjalanan per hari atau 30 persen. Selanjutnya, perjalanan berbelanja sebanyak 2,1 juta per hari atau 12 persen, bisnis sebanyak 1,4 juta atau delapan persen, dan sisanya perjalanan pribadi (private) sebanyak 3,1 juta atau delapan belas persen .

Sedangkan, jika dilihat dari satuan kendaraan, pekerja dan pelajar juga tetap mendominasi. Pekerja mencapai 48 persen, pelajar 14 persen, belanja 12 persen, bisnis delapan persen, dan perjalanan pribadi 18 persen. "Oleh karenanya, pengaturan pemakaian jalan diberlakukan pada karyawan dan pelajar," ujar Prijanto sambil tersenyum.

Terkait dengan jam masuk karyawan, Prijanto menambahkan, perkantoran yang ada di Jakarta Utara dan Pusat diimbau untuk memberlakukan jam masuk kerja pukul 07.30 WIB, sedangkan Jakarta Barat dan Timur pukul 08.00 WIB. "Wilayah Jakarta Selatan terdapat perkantoran dengan jumlah terbanyak, sehingga diimbau masuk kerja pukul 09.00 WIB," kata mantan asisten teritorial Kodam Jaya ini.

Mengenai payung hukum pengaturan jam masuk karyawan, Prijanto menjelaskan, Pemprov hanya bisa memberikan surat imbauan saja. "Keputusannya tetap menjadi kebijakan perusahaan masing-masing," ujarnya dengan logat Jawa yang khas. Namun, lanjut Prijanto, perusahaan tersebut tetap diharuskan untuk melakukan koordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta.

Dedy Arief, juru bicara PT Pamintori, mengatakan, survey yang dilakukan cukup akurat dengan margin error di bawah sepuluh persen. "Survey dilakukan per wilayah, tidak per orang," katanya memaparkan. Beberapa lokasi jalan yang dijadikan objek survey antara lain Kawasan Bisnis Sudirman (SCBD), Jl S Parman, Jl Ahmad Yani, Jl Gatot Subroto, dan tol-tol dalam kota.

Kepala UPT Bus Sekolah, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Sihol Sijabat, mengatakan, pengaturan jam masuk pelajar juga akan berdampak pada waktu pengoperasian bus sekolah. "Jadwalnya tentu akan kami sesuaikan," katanya. Bus sekolah diupayakan mampu membawa pelajar dalam jumlah maksimal meski ada pengubahan jam masuk sekolah.

Tampaknya, Pemprov DKI Jakarta sudah kehabisan akal dalam mengurangi kemacetan. Selama ini, berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kemacetan sudah pernah dilakukan. Penerapan pola tiga penumpang dalam satu kendaraan (3 in 1) sudah dari dulu berlaku. Beberapa tahun berikutnya, Pemprov membangun moda transportasi massal berupa busway. Namun, tidak satu pun yang bisa mengurangi kemacetan.

Kondisi lalu lintas Jakarta diperparah oleh pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak terkendali. Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta pada 2007 mencapai 5,7 juta unit. Padahal, dua tahun sebelumnya hanya 4,9 juta unit. Artinya, kenaikan jumlah kendaraan mencapai delapan persen per tahun.

Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya lebih fantastis lagi. Jumlah kendaraan di Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang mencapai 9,5 juta unit pada 2008 ini. Dua juta unit di antaranya adalah mobil pribadi. Jumlah tersebut meningkat hampir dua juta unit dibanding jumlah kendaraan pada 2006 yang mencapai 7,9 juta unit. Persentasi kenaikannya lebih dari sepuluh persen per tahun.

Jumlah kendaraan pribadi mencapai 98 persen dari total kendaraan di Jakarta. Jalanan pun menjadi daerah okupasi kendaraan pribadi. Panjang jalan di Jakarta mencapai 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi atau 6,2 persen dari luas wilayah Jakarta. Pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan luas jalan yang hanya 0,01 persen per tahun.

Azas Tigor Nainggolan, aktivis Koalisi Warga untuk Transportasi (Kawat) Jakarta, kerugian materil akibat kemacetan mencapai Rp 3-4 triliun setiap tahun. Mengutip data sejumlah hasil penelitian, Tigor menyebutkan bahwa kerugian non-materil justru lebih tinggi. Kerugian Rp 3-4 triliun itu, ujar Tigor, berasal dari Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terbuang sia-sia di tengah kemacetan.

Terkait dengan pengaturan jam masuk pelajar untuk mengurangi kemacetan, Tigor mengatakan, kebijakan tersebut sama sekali tidak tepat. "Solusi mengurangi kemacetan adalah dengan melakukan pembatasan terhadap pemakaian kendaraan pribadi," kata pria berkepala plontos ini. Pasalnya, kendaraan pribadi mendominasi jumlah kendaraan di jalanan.

Selain membatasi kendaraan pribadi, fasilitas kendaraan umum juga perlu diperbaiki agar masyarakat tertarik untuk menggunakannya. "Pemprov jangan melakukan intervensi terhadap jam masuk sekolah," ujar Tigor bernada tegas. Hal itu menunjukkan bahwa Pemprov tidak ada kerjaan dan kehabisan akal dalam mengurai kemacetan. Tigor menambahkan, kebijakan dalam mengurai kemacetan harus disusun secermat mungkin.

Kepala Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta, Sukesti Martono, enggan berkomentar banyak mengenai jam masuk sekolah yang dimundurkan itu. "Pergub tentang pengaturan jam masuk sekolah itu belum terbit," kata Sukesti dalam pesan singkatnya kepada Republika, kemarin (Ahad, 23/11). Dia menambahkan, kebijakan itu merupakan rekomendasi Dishub DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan pada jam sibuk.

Nada keberatan juga keluar dari mulut Sahala Aritonang, Ketua Forum Serikat Buruh Pendidikan, Pelatihan, dan Pegawai Negeri (Fesdikari) Jakarta. "Sebagai guru kami siap kapan saja datang ke sekolah, namun kebijakan itu tidak bisa mengatasi kemacetan," katanya. Justru, kata Sahala, hal itu akan memberatkan bagi siswa.

Sahala menambahkan, selama ini banyak siswa yang pergi ke sekolah dengan diantar oleh orangtuanya yang hendak pergi ke tempat kerja. "Orangtua dan anaknya tidak bisa lagi pergi bersamaan jika jam masuk sekolah dimajukan," katanya. Sehingga, orangtua perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk ongkos anaknya pergi sekolah. n ikh

0 komentar: