26 July, 2013

Hormon Daging Berbahaya, Benarkah?

Berawal dari seorang bernama John Verral. Dia adalah seorang anggota Komite Penasihat Pemerintah Inggris pada bidang farmasi dan kimia. Pengalamannya sebagai pengawas industri peternakan sapi tak perlu diragukan. Pakar kimia daging, begitu dia dikenal oleh sejumlah koleganya.

Verral sebelumnya bukan siapa-siapa. Dia seorang ahli yang fokus menjalankan tugas. Namun, semuanya berubah pada 3 Juli 2006. Ketika itu, Verral menjadi sumber berita yang ditulis di Daily Mail. Kemunculan perdananya di media justru membuat guncang seluruh daratan Inggris. Kepada Daily Mail, Verral mengungkapkan kegusarannya selama puluhan tahun.

Dia mengungkap bahayanya sapi impor asal Amerika Serikat (AS) yang masuk ke Inggris. Verral menyebut adanya penyuntikan hormon berbahaya ke tubuh sapi sebelum dipotong. Hormon ini menghambat proses reproduksi dan memacu pertumbuhan otot. Hasilnya memang luar biasa. Sapi-sapi menjadi supergemuk. Namun, dampak negatifnya tak kalah luar biasa.

Menurut Verral, sapi yang sebelumnya mendapat suntikan hormon akan berbahaya apabila dagingnya dimakan manusia. Dalam jangka panjang, manusia bisa terkena kanker payudara, kanker prostat, pubertas dini, dan gangguan fungsi reproduksi. Memang sulit dipercaya, tapi hal itu keluar dari mulut seorang pakar.

Verral tak hanya berkoar. Dia memberi bukti. Menurut dia, telah terjadi kenaikan angka penderita kanker payudara dan kanker prostat di AS, di mana dua pertiga sapi di negara itu mendapat suntikan hormon. Uni Eropa telah melarang penggunaan hormon ini. Akibatnya, daging sapi asal AS tidak bisa masuk ke Benua Biru.

Pernyataan Verral membuat pusing Inggris dan AS. Ini karena pernyataan Verral keluar saat perdana menteri Inggris ketika itu, Tony Blair, hendak mencabut larangan impor sapi dari AS. Pencabutan larangan impor pun ditunda.

“Verral” versi Indonesia muncul ke publik pada Agustus 2010. Dia bernama Kisman Achmad Rasyid, seorang peneliti di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketika menjalani ujian promosi gelar doktor, Rasyid mengungkapkan hasil penelitiannya soal residu hormon trenbolon asetat dalam daging sapi impor.

Rasyid meneliti sapi yang digemukkan selama dua hingga lima bulan di tempat penggemukan sapi di Bogor. Sapi ini merupakan sapi impor yang masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Rasyid mengambil 60 sampel daging dan hati. “Hati dan dagingnya kita temukan adanya residu. Hampir rata-rata seratus persen,” kata Rasyid ketika itu, seperti dikutip situs resmi UGM.

Meski jumlah residu masih di bawah ambang batas aturan internasional Standar Codex, yakni 2 ppb untuk daging sapi dan 10 ppb untuk hati sapi. Namun, bila dikonsumsi secara terus menerus, kata Rasyid, bisa menimbulkan kanker rahim dan payudara pada perempuan serta menimbulkan kanker prostat pada laki-laki.

Di Indonesia, peredaran dan pengunaan trenbolon asetat tidak diizinkan karena tergolong obat keras. Sudah dilarang pengunaannya, tetapi masih ada karena tidak adanya pengawasan yang ketat. Rasyid mengimbau pemerintah menetapkan syarat bagi sapi impor dari Australia tidak boleh mengandung hormon.

Inggris menuding AS. Indonesia mencurigai Australia. AS dan Australia tidak begitu saja menerima tudingan dan kecurigaan itu. Food and Drug Administration (FDA) di AS meggunakan hormon tak berbahaya dalam batas tertentu. Pun halnya dengan Australia. Negeri Kanguru ini mengklaim tak menyuntikkan hormon berbahaya melainkan hanya hormone growth promotants (HGP) yang bersifat alami.

Lantas bagaimana dan kapan hormon berbahaya masuk ke tubuh sapi? Jawabannya sulit kalau tidak ada pengawasan ketat. Mata rantai peternakan sapi sangat panjang. Ini merupakan pekerjaan besar Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perdagangan.

Soal debat tentang bahaya hormon bagi manusia, biarlah pakar dari masing-masing negara beradu ilmu. Mereka harus terbuka kepada publik. Kalau memang suntikan hormon itu berbahaya, bagaimana cara menanggulanginya? Kalau ternyata tak berbahaya, berapa batasan maksimumnya? Jangan sampai masyarakat takut dan berhenti mengonsumsi daging. Jangan sampai peternak sapi di dalam negeri terimbas oleh kabar buruk ini.


photo courtesy: www.drweilblog.com

0 komentar: