05 July, 2013

Negeri Para Bandit

Entah apa penyebabnya. Perjalanan bangsa ini tak pernah jauh dari urusan kekerasan. Ini terjadi sejak zaman kerajaan, penjajahan, hingga kemerdekaan. Para penjahat memang tak mengenal zaman. Seolah timbul dan tenggelam sepanjang waktu.

Memang tak adil kalau menyebut bangsa ini sebagai bangsa yang penuh dengan kekerasan. Alasannya, segala bentuk kejahatan terjadi juga di seluruh penjuru bumi. Bahkan, praktik menghilangkan nyawa merupakan kejahatan paling tua dalam sejarah manusia.

Namun, bangsa ini punya catatan sendiri soal sepak terjang para bandit. Mereka malah sudah beraksi sejak negara ini belum berdiri. Semuanya memiliki 'benang merah' serupa, yakni ketidakberdayaan penguasa pada masanya untuk meredam aksi para bandit.

Siapa tak kenal Ken Arok? Sosok yang dalam Kitab Pararaton ini merupakan pendiri Kerajaan Tumapel yang kelak terkenal menjadi Kerajaan Singasari. Sebelum menjadi raja, Ken Arok pernah menjalani hidup sebagai berandalan pada masanya.

Barangkali hampir semua jenis kejahatan pernah dilakoni Ken Arok, dari mencuri, berjudi, hingga membunuh. Ken Arok tak tersentuh hukum yang berlaku saat itu alias untouchable. Bahkan setelah menikah, dia 'berkolaborasi' dengan istrinya melakukan kejahatan.

Kerajaan Majapahit juga tak berdaya menghadapi para perampok dan penjahat. Mereka leluasa menjalankan aksinya di tengah-tengah masyarakat. Para bandit pada masa Majapahit ini ibarat penyakit akut yang sulit sembuh.

Penyamun tak hanya berjaya di darat, tapi juga di laut. Perairan nusantara kala itu penuh dengan perompak. Mereka menguasai jalur-jalur perdagangan hasil bumi. Lagi-lagi, 'polisi perairan' dari kerajaan tak berdaya menghadapi aksi mereka.

Pemerintah Hindia-Belanda juga dibuat repot dengan para bandit nusantara. Preman terus beraksi di sejumlah kota besar. Marsose dan veldpolite (polisi kota) kewalahan mengimbangi perampok yang tak hanya berasal dari etnis pribumi itu.

Para wedana hingga kepala wijkmeester (kepala kampung) boleh saja memegang posisi tertinggi di sebuah wilayah, tetapi para banditlah yang memiliki kuasa. Mereka juga menarik pajak tandingan kepada rakyat kecil.

Pada awal masa kemerdekaan, kriminalitas bukan hal asing. Di sinilah para jawara atau centeng leluasa menjalankan aksinya. Ketika itu, Indonesia memang sudah memiliki hukum dan pemerintahan, tapi para bandit ini sulit dikendalikan.

Presiden Soeharto pada masanya juga kerap dibuat repot oleh penjahat. Ketika itulah mulai muncul istilah preman. Mereka sama saja dengan bandit pada zaman majapahit yang berbuat onar dan kriminal. Soeharto pun menyikat habis para preman ini.

Siapa saja yang bertato dan berambut gondrong, aparat keamanan era Soeharto pasti menghabisinya. Apalagi para penjahat kambuhan, nyawa mereka kemungkinan besar hilang di tangan penembak misterius (petrus). Akan tetapi, tetap saja, preman tetap langgeng.

Zaman sekarang makin parah. Preman bukannya hilang, mereka malah berani menghabisi tentara. Preman tidak lagi melihat sasarannya siapa, gebuk sana-gebuk sini. Tentara pun naik pitam. Preman pembunuh tentara itu akhirnya diberondong peluru.

Perjalanan Indonesia untuk menghilangkan preman masih panjang. Mungkin perjalanan itu tak akan ada habisnya. Perkiraan ini wajar karena polisi yang seharusnya memberantas preman malah saling tembak dengan sesamanya.

Pada Sabtu (6/4), Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, Sulawesi Selatan, Kombes Purwadi ditembak seorang polisi berpangkat brigadir. Apa pun alasannya, penembakan ini menggelikan. Polisi bukannya menembak penjahat, malah menembak rekan seprofesi.

0 komentar: