Entah apa penyebabnya. Perjalanan bangsa
ini tak pernah jauh dari urusan kekerasan. Ini terjadi sejak zaman
kerajaan, penjajahan, hingga kemerdekaan. Para penjahat memang tak
mengenal zaman. Seolah timbul dan tenggelam sepanjang waktu.
Memang tak adil kalau menyebut bangsa ini sebagai bangsa yang penuh
dengan kekerasan. Alasannya, segala bentuk kejahatan terjadi juga di
seluruh penjuru bumi. Bahkan, praktik menghilangkan nyawa merupakan
kejahatan paling tua dalam sejarah manusia.
Namun, bangsa ini punya catatan sendiri soal sepak terjang para bandit.
Mereka malah sudah beraksi sejak negara ini belum berdiri. Semuanya
memiliki 'benang merah' serupa, yakni ketidakberdayaan penguasa pada
masanya untuk meredam aksi para bandit.
Siapa tak kenal Ken Arok? Sosok yang dalam Kitab Pararaton ini merupakan
pendiri Kerajaan Tumapel yang kelak terkenal menjadi Kerajaan
Singasari. Sebelum menjadi raja, Ken Arok pernah menjalani hidup sebagai
berandalan pada masanya.
Barangkali hampir semua jenis kejahatan pernah dilakoni Ken Arok, dari
mencuri, berjudi, hingga membunuh. Ken Arok tak tersentuh hukum yang
berlaku saat itu alias untouchable. Bahkan setelah menikah, dia
'berkolaborasi' dengan istrinya melakukan kejahatan.
Kerajaan Majapahit juga tak berdaya menghadapi para perampok dan
penjahat. Mereka leluasa menjalankan aksinya di tengah-tengah
masyarakat. Para bandit pada masa Majapahit ini ibarat penyakit akut
yang sulit sembuh.
Penyamun tak hanya berjaya di darat, tapi juga di laut. Perairan
nusantara kala itu penuh dengan perompak. Mereka menguasai jalur-jalur
perdagangan hasil bumi. Lagi-lagi, 'polisi perairan' dari kerajaan tak
berdaya menghadapi aksi mereka.
Pemerintah Hindia-Belanda juga dibuat repot dengan para bandit
nusantara. Preman terus beraksi di sejumlah kota besar. Marsose dan
veldpolite (polisi kota) kewalahan mengimbangi perampok yang tak hanya
berasal dari etnis pribumi itu.
Para wedana hingga kepala wijkmeester (kepala kampung) boleh saja
memegang posisi tertinggi di sebuah wilayah, tetapi para banditlah yang
memiliki kuasa. Mereka juga menarik pajak tandingan kepada rakyat kecil.
Pada awal masa kemerdekaan, kriminalitas bukan hal asing. Di sinilah
para jawara atau centeng leluasa menjalankan aksinya. Ketika itu,
Indonesia memang sudah memiliki hukum dan pemerintahan, tapi para bandit
ini sulit dikendalikan.
Presiden Soeharto pada masanya juga kerap dibuat repot oleh penjahat.
Ketika itulah mulai muncul istilah preman. Mereka sama saja dengan
bandit pada zaman majapahit yang berbuat onar dan kriminal. Soeharto pun
menyikat habis para preman ini.
Siapa saja yang bertato dan berambut gondrong, aparat keamanan era
Soeharto pasti menghabisinya. Apalagi para penjahat kambuhan, nyawa
mereka kemungkinan besar hilang di tangan penembak misterius (petrus).
Akan tetapi, tetap saja, preman tetap langgeng.
Zaman sekarang makin parah. Preman bukannya hilang, mereka malah berani
menghabisi tentara. Preman tidak lagi melihat sasarannya siapa, gebuk
sana-gebuk sini. Tentara pun naik pitam. Preman pembunuh tentara itu
akhirnya diberondong peluru.
Perjalanan Indonesia untuk menghilangkan preman masih panjang. Mungkin
perjalanan itu tak akan ada habisnya. Perkiraan ini wajar karena polisi
yang seharusnya memberantas preman malah saling tembak dengan sesamanya.
Pada Sabtu (6/4), Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, Sulawesi
Selatan, Kombes Purwadi ditembak seorang polisi berpangkat brigadir. Apa
pun alasannya, penembakan ini menggelikan. Polisi bukannya menembak
penjahat, malah menembak rekan seprofesi.
05 July, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment